Sunday, October 28, 2007

Menukar Kemapanan dengan Perpustakaan

Oleh Efri Ritonga

Judul: Leaving Microsoft to Change the World
Penulis: John Wood
Penerbit: Bentang Pustaka
Penerjemah: Widi Nugroho
Tebal: 367 halaman
Cetakan: I, Agustus 2007


"Bodoh sekali orang itu! Dia seharusnya bisa tetap jadi dermawan tanpa perlu keluar dari Microsoft." Belum lagi saya selesai menceritakan ringkasan buku ini, seorang teman diskusi di suatu siang sudah meraung dan mengomel gusar. Naif sekali, dalam pandangan dia, mundur dari jabatan sebagai eksekutif perusahaan terkaya di dunia demi mengejar cita-cita baru yang absurd: mendirikan perpustakaan di Nepal.

Orang yang berpikir begitu pastilah tidak satu di muka bumi ini. Berani bertaruh, ada jutaan orang lainnya yang mengutuki John Wood. Apalagi jika mereka tahu, karena pilihannya itu, calon pengantinnya yang cantik dan seorang eksekutif periklanan mengusir John tidur di sofa sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan laki-laki gagah itu.

Namun, di sanalah, di dalam riak-riak kontroversi, terdapat daya pikat buku otobiografi ini. Seperti kata pemenang Nobel Sastra 2007, Doris Lessing, pembaca berhak menilai, penulis dilarang protes.

Petualangan John dimulai pada 1998. Dengan maksud rehat sejenak dari akselerasi kerja Microsoft, ia terbang ke Nepal. Di sebuah kedai bir--saat tengah merancang perjalanan 21 harinya menyusuri 200 mil jalan keledai dengan ransel di punggung--ia berkenalan dengan Pasuphati, pegawai Pemerintah Provinsi Lamjung, Nepal. Laki-laki paruh baya ini mengaku bertanggung jawab mencari sumber daya bagi 17 sekolah di provinsi pedalaman ini.

Dari penuturan Pasuphati, John mengetahui soal angka buta huruf di Nepal yang mencapai 70 persen, terburuk di dunia. Penyebabnya, kata Pasu, bukan karena orang Nepal malas belajar, melainkan karena negara berpenduduk 27 juta itu terlalu miskin untuk mengupayakan sekolah, buku-buku, dan guru-guru.

John penasaran dengan cerita itu. Esok paginya, mereka berdua berjalan kaki selama dua jam mengunjungi sebuah sekolah di Desa Bahundanda. Di sekolah itu ia melihat satu ruang perpustakaan yang melayani 450 siswa tanpa sebuah buku pun. "Barangkali, Pak, suatu hari Anda akan kembali dengan buku-buku." Seuntai kalimat dari Pak Kepala Sekolah itu demikian membekas di hati John, dan mengubah lintasan hidupnya selamanya.

Kembali dari Nepal ke Sydney, Australia, di sela-sela pekerjaannya sebagai Direktur Pemasaran Microsoft Australia, John bergerak menyurati keluarga, kenalan, dan siapa pun untuk mengumpulkan buku buat dikirim ke Nepal. Jauh di luar prasangka John, bergoni-goni buku baru dan bekas yang datang dari seluruh penjuru Amerika dapat dikumpulkan dan dikirim ke Bahundanda.

Sejak keberhasilan itu, John seperti dipaksa bekerja di dua tempat sekaligus. Kedua tempat itu kontras. Satu di Australia dan lainnya di Nepal. Kondisi ini membuatnya berpikir bahwa ia harus memilih salah satu. Satu setengah tahun dalam kebimbangan, pada Mei 1999 ia memutuskan keluar dari Microsoft dan mendirikan Books for Nepal. Umurnya ketika itu 35 tahun, dengan posisi terakhir sebagai Direktur Pengembangan Bisnis Microsoft Cina.

Sukses di dunia baru tidak serta-merta mendekati pemegang gelar masters of business administration dari the Kellogg Graduate School of Management, Amerika, ini. Tak kurang rintangan yang ditemui pada masa awal berdirinya Books for Nepal. Seluruh hidup John tersedot habis untuk berjualan program dari satu malam dana ke malam dana lainnya, dari Amerika sampai Eropa. Belum lagi tekanan batin karena pundi-pundi tabungannya terus menyusut.

Berlian tetaplah berlian di mana pun ia ditaruh. Walau memilih jalur nirlaba, John berupaya mencangkokkan pelajaran yang didapatnya di Microsoft, terutama dari bos yang dikaguminya, Steve Ballmer. Books for Nepal, yang kemudian pada 2001, seiring dengan ekspansi mereka ke Vietnam, bersalin nama menjadi Room to Read, terus tumbuh dengan kombinasi gairah, kerja sama tim, dan disiplin tinggi ala perusahaan kelas dunia.

Ditulis bukan oleh sastrawan, melainkan oleh tenaga pemasaran terlatih, buku ini terbukti enak dibaca. Runtutan peristiwanya detail dan runut. Tidak puitis, tidak pula bertabur metafora, gaya penuturan John yang lugas membuat buku ini mudah dicerna. Penulisnya juga membuat beberapa boks untuk menempatkan kisah-kisah khusus yang cocok sebagai jeda pandangan. Sedikit kekurangan barangkali, John kurang mengeksplorasi saat-saat tersulitnya bersama Room to Read.

Tujuh tahun sudah sejak lembaga yang dirintis John ini berkiprah, kini lembaga nirlaba itu tumbuh besar. Mereka telah membangun lebih dari 3.600 perpustakaan di negara-negara berkembang, menyumbang dan mempublikasikan 3 juta buku, membangun 287 sekolah, serta memberikan lebih dari 3.400 beasiswa jangka panjang untuk anak-anak perempuan.

Pelopornya menerima pengakuan sebagai Pemimpin Muda Dunia dari Forum Ekonomi Dunia, dan disebut sebagai Pahlawan Asia oleh majalah Time. Adapun Room to Read memenangi empat kali Social Capitalist Award dari Fast Company Magazine, Skoll Foundation Award for Social Innovation, dan menerima Draper Richards Fellowship for Social Entrepreneurs. Dalam skala lain, John dan timnya bersama-sama telah melampaui idolanya, seorang pengusaha baja yang sangat dermawan asal Amerika, Andrew Carnegie, yang membangun 2.000 perpustakaan di Eropa dan Amerika Serikat di abad ke-19. Sekarang, masihkah Anda menganggap John keliru? EFRI RITONGA

* Digunting dari Harian Koran Tempo Edisi 28 Oktober 2007


No comments: