Saturday, April 18, 2009

Wendo Bilang Ngarang Itu Gampang, Kataku TIDAK!!!

Oleh Diana AV Sasa

Mengarang Itu Gampang
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Penerbit : PT Gramedia (1981-2001)


“Jangan hanya membaca. Kalau saat itu sudah mencoba mengarang, pasti lain halnya. Untuk yang terakhir ini saya percaya penuh. Cobalah mengarang sekarang juga, jangan menunggu dua puluh tahun lagi. Jangan menunggu dua hari lagi. Sekarang juga. Tutup buku ini, mulai.”

Begitu tulis Arswendo dalam pengantar edisi kedua buku Mengarang Itu Gampang yang sudah lebih dari 5 kali cetak ulang selama sepuluh tahun sejak 1981 hingga 2001.
Paragraf terakhir Arswendo itu mendorong saya untuk terus memamah isi bukunya.

Sebagai penulis pemula, kata-katanya cukup melecut untuk penasaran mengetahui trik dan resep apa yang dipunya seorang maestro agar menulis (baca: mengarang) bisa lebih mudah dan ciamik. Maka saya pun menekuni setiap bab pada buku itu dengan gairah yang menyala.

Buku itu tak terlalu tebal. Hanya 118 halaman. Cukup ringan untuk sebuah buku panduan. Ditulis dengan teknik tanya jawab. Gaya bahasanya juga ringan dan bertutur meski materi bahasannya berat. Wendo tampaknya cukup mahir menjadikan yang berat jadi enteng, yang berkabut menjadi jernih dan terang.

Tapi ada “tapinya”. Saya jadi jenuh saat memasuki lembaran tengah. Semangat dan gairah yang sejak awal saya sulut mendadak meredup dan menghentikan alur baca saya hingga hanya membaca sekilas lalu.

Pada awal bab, Wendo mengajak pembaca untuk melihat alasan mengapa menurutnya mengarang itu gampang. Ada 4 pondasi yang diletakkannya untuk mengatakan menulis itu gampang. Pertama, harus bisa membaca dan menulis. Syarat ini tentu banyak yang bisa memenuhi, tak terlampau sulit.

Kemudian pondasi berikutnya adalah minat dan ambisi yang terus-menerus. Membaca dan menulis yang baik perlu latihan, perlu disiplin, perlu minat yang tak kunjung habis. Minat dan ambisi seperti juga rasa cinta, selalu ada, terus mengalir. Ini didasarkan pada kepercayaan diri, bahwa dengan mengarang kita melakukan sesuatu yang dicintai, dan kita percaya, ada Sesutu yang baik yang akan kita lakukan dengan itu.

Wendo benar tentang ini. Rasa cinta memang membuat segala sesuatu menjadi lebih mudah dan ringan dijalani. Jika sudah ada rasa cinta, maka langkah akan mengalir dengan sendirinya. Semangat ini menjadikan menulis terkesan mudah.

Pondasi sudah diletakkan. Wendo kemudian menuntun memahami bagaimana meramu sebuah ilham sehingga menjadi ide. Diperlukan dua hal yang bisa menjadi kompas: Untuk apa kamu menulis? Apa sebenarnya kemauanmu menulis? Di sinilah peran pandangan penulis terhadap sebuah ilham sangat menentukan. Pada bagian ini penulis bisa memilih ingin menggabung realitas dan imajinasi dengan porsi dan cara bagaimana. Sebagian atau keseluruhan, terserah penulisnya.

Ide yang sudah ada itu hanya akan menjadi sebatas ide jika tak dituliskan. Maka segera saja mulai menulis. Jika belum siap, bisa diawali dengan membuat coretan tentang ide dasar yang ingin dikembangkan. Untuk itu diperlukan pengetahuan tambahan. Maka penulis harus mencari informasi pendukung idenya itu sehingga bahan yang akan diolah makin banyak.

Saya sepakat dengan Wendo. Di era internet ini, mencari bahan pendukung penulisan sudah bukan hal sulit. Cukup tanyakan Paman Google, dan segudang bahan akan tersedia. Hanya tinggal diperlukan kemahiran menguatak-atik bahan dan menyelipkan gagasan kita dalam rangkaian tulisan. Tugas seorang pengarang sebenarnya adalah menggabung-gabungkan hal yang sepertinya tak ada hubungannya menjadi saling terkait. Ini adalah seni menulis kreatif yang merupakan sikap dasar penulis. Kreatif menggabung-gabungkan, seperti menjahit kain perca hingga menjadi lembaran warna-warni yang cantik dan unik berirama.

Sampai tahap ini saya masih cukup mengikuti alur buku ini. Memasuki bahasan berikutnya, saya mulai jenuh. Ini seperti mendapat pelajaran mengarang di sekolah. Beberapa macam jenis plot dipaparkan. Plot dengan ledakan, plot lembut, plot lembut meledak, plot terbuka, plot tertutup, sampai bagaimana mengembangkan plot.

Plot yang sudah didapat, tulis Wendo, harus dikembangkan dengan mencari sebab agar mendapat kesimpulan akibat. Kemudian bagaimana plot ini dikunci dengan penutup dan akhir yang tepat. Selanjutnya diulas bagaimana menghadirkan tokoh, memilih tempat/lokasi cerita dan penggambarannya. Diakhir baru dibahas mengenai tema.
Ini agak janggal, karena tema biasanya justru dibahas diawal sebagai sebuah bagian besar dari rentetan teori sebelumnya. Ini barangkali seperti teori paramida terbalik. Yang besar ada di belakang.

Teori yang coba disederhanakan dengan cara dialog ini memang menjadi terkesan ringan, namun tetap saja membuat kepala penuh teori yang mengesankan mengarang jadi berat dan susah karena banyak aturannya. Bagi penulis pemula, hal ini membuat awal menulis jadi terasa berat sekali. Aturan hanya membuat ide penulisan cupet. Belum-belum sudah dihadang aturan yang menggertak bahwa tulisan yang tidak patuh aturan adalah tulisan buruk.

Tips dan trik yang saya harapkan tidak terlampau terpenuhi sampai halaman ke 65 buku ini. Saya hanya seperti mendapat pengulangan dari pelajaran mengarang saya di sekolah. Pada sisa bab yang ada, penulis memberikan bonus pengetikan dan ejaan yang baik. Ini menjadikan beban untuk memulai tambah berat dipundaki. Baru mau mengawali sudah tambah beban ejaan yang rumit diingat. Mau mulai mengetik saja sudah khawatir ejaan dan bahannya tidak tepat. Materi tambahan ini jika tidak suka bisa dilewatkan saja, karena meski menulis dengan ejaan yang benar itu lebih baik dan penting, namun tugas itu bisa menjadi lebih ringan ketika dibagi dengan editor yang lebih menguasai ilmunya. Tugas penulis adalah menulis.

Bonus lain di bab akhir adalah bagaimana mengirim karangan ke media. Bagaimana antisipasi jika karangan ditolak. Hingga sistem pembayaran honor. Pentingnya membaca karya satra, dan juga beberapa pekerjaan alternatif yang bisa dijadikan sandaran hidup seorang penulis. Walau saya kurang yakin, Wendo tetap keukeuh menyakinkan untuk percaya bahwa mengarang itu gampang. Tinggal menjajal dan membuktikannya. Percaya bahwa mengarang itu pekerjaan terhormat, tidak kalah dan tidak lebih daripada profesi-profsi lain.

Buku ini adalah buku yang cukup legendaris pada era 80an. Ketika itu menulis masih belum dianggap pekerjaan menjanjikan. Sehingga kehadiran buku ini cukup membantu sebagai panduan bagi mereka yang ingin mulai menekuni dunia tulis menulis. Nama besar seorang Arswendo mempengaruhi larisnya buku ini di pasaran. Saya pribadi sebagai penulis pemula, melihat buku ini lebih sebagai panduan menulis dengan baik, bukan sebuah buku yang memberikan tips dan trik menulis sehingga menjadi mudah.

Alasan kecintaan pada profesi memang bisa membantu beban menjadi ringan, namun untuk menjadikannya mudah butuh panduan dan penjelasan yang mudah dimengerti pula. Buku ini tidak cukup mengakomodir itu. Gaya penulisannya memang ringan, namun topik bahasannya berat. Contoh-contoh buku yang dihadirkan pun cenderung jarang dikenal. Sebut saja The Social Construction of Reality-nya peter l berger dan Thomas Luckman, Little House on the Priere-nya Laura Ingall Wilder, Untung Suropati-nya Abdul Muis, dan sebagainya. Bagi yang tidak pernah membaca buku ini akan sulit sekali menangkap penggambaran yang dimaksudkan penulis.

Terlepas dari kekurangan dan kelemahannya, buku ini layak menjadi referensi bacaan dan panduan bagi mereka yang telah rajin menulis, telah menemukan menulis sebagai sebuah aktivitas yang penuh disiplin dan ingin mengembangkan kemampuannya sehingga tulisannya lebih bernas. Pada akhirnya mengarang tidak menjadi lebih gampang setelah membaca buku bertabur teori ini.


[+baca-]

Resep Cespleng Menulis Buku Best Seller

Oleh Muhidin M Dahlan

Resep Cespleng Menulis Buku Best Seller
Penulis: Edy Zeqeus
Penerbit: Gradien Books (2005: 183 hlm)


Dalam buku tipis Tawa Show di Pesantren yang dikompilasi Akhmad Fikri AF (LKiS, 1999: 87), terdapat sebiji kisah Kiai Bisri Musthafa, seorang kiai yang sangat produktif mengarang atau menerjemahkan kitab kuning. Hampir semua kitab yang dtulisnya menjadi kitab laris. Nah, suatu hari seorang kiai dari Tuban, yang juga pengarang dan cukup produktif, datang ke Kiai Bisri. Beliau setengah mengeluh bahwa karya-karyanya tidak selaris kitab Kiai Bisri. “Padahal saya mengarang kitab ini benar-benar ikhlas, hanya karena Allah,” kata kiai itu menjelaskan motivasinya. Kiai Bisri menimpali, “Kalau niatnya ikhlas, yang nggak usah mengeluh kalau kitab sampeyan tidak laku. Niat saya mengarang kitab ini memang untuk mencari uang. Jadi wajar to, kalau laris.”

Niat itu memang penting. Tapi niat saja tak cukup bagi orang kebanyakan. Kalau Kiai Bisri barangkali bisa dimaklumi. Maklum beliau adalah kiai—dan gus pula. Tapi bagi kebanyakan orang kantoran yang sibuk memulung uang setiap hari di gedung-gedung bertingkat dengan seabrek aktivitasnya yang menekan batin, pastilah sukar sekali mendapatkan karomah dari langit yang abstrak-abstrak. Dan “niat” itu masuk dalam ranah yang abstrak. Jadi diperlukan sebuah trik tertentu.

Nah buku yang ditulis Edy Zaques ini mencoba memberi resep yang sepertinya mudah dilakukan. Edy adalah salah satu penulis fast book yang namanya diperhitungkan, khususnya soal manajemen dan pembelajaran dan sekaligus ia juga pemilik penerbitan. Jadi latar itu bisa menjadi sangu buat Anda percaya bahwa ia tak sedang ngapusi Anda. Karena banyak yang menulis buku-buku “how to” alias “ripun” alias “panduan”, tapi si penulis sendiri selalu gagal melakukan apa yang ada dalam bukunya. Misalnya, ada beberapa yang menulis buku bagaimana menembus tes masuk pegawai negeri, padahal si penulis sudah berkali-kali mencoba ikut tes tapi tak diterima-terima juga.

Edy Zaques tampaknya bukan penulis begituan. Antara fakta pribadinya dan buku yang ditulisnya tak bertabrakan. Ada 17 esai yang dimuat buku ini. Ditulis pendek-pendek. Dibuka dengan esai pendek “Menulis Buku Best Seller Itu Gampang Kok”. Saya kira ini pernyataan kecap. Buktinya, hanya segelintir penulis yang bukunya best seller. Yang lainnya anjlok. Artinya, menulis buku best seller itu susah. Tapi ini juga tips agar buku bisa best seller: jago ngecap sejak dari judul.

Beberapa judul ngecap dan nendang Edy sebutkan jenisnya: UNIK (Dialog dengan Jin, Orang Miskin Dilarang Sekolah, Kampus Fresh Chicken); SENSASIONAL/BOMBASTIS/ABSURD (Jangan Main-Main dengan Kelaminmu, Kaya tanpa Bekerja, Wajah Sebuah Vagina, Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur); KONTROVERSIAL (Rapor Merah Aa Gym, Kalau Mau Kaya Ngapain Sekolah!, Selingkuh Itu Indah, Ternyata Akhirat Tidak Kekal); RAHASIA (Jakarta Undercover, Sex in the Kost); dan MENJAWAB PERSOALAN (Bagaimana Memikat Gadis dan Berkencan Efektif, Agar Menjual Bisa Gampang)

Tapi ada hukum besi yang berlaku. Ngecap yang kosong alias omdo (omong doang) akan mendapatkan hukuman besat dari pembaca untuk buku penulis itu selanjutnya. Karena itu, kepercayaan pembaca mesti dijaga dengan kualitas yang setimpal. Tapi kualitas yang dimaksud bukan kemudian harus ilmiah, penuh diksi rumit. Inginnya terlihat seperti cerdas sekali, tahu-tahunya sebetulnya itu trik untuk menutupi bahwa ia juga tak mengerti apa yang ditulisnya.

Jadi untuk bisa membuat buku best seller, tulis Edy, selain judul yang nendang dan ngecap, diperlukan kecakapan standar lain, seperti tahu teknik-teknik yang paling efektif untuk menulis buku, mau menyisihkan waktu dan disiplin menulis, peka atas topik yang dibutuhkan dan diminati masyarakat, dan yang lebih penting lagi adalah memiliki sense of marketing.

Ada penulis yang hanya menulis untuk menulis. Tak peduli masa depan pasar buku itu nantinya. Apa sah? Sah! Tapi biasanya sangat kebetulan saja bila tiba-tiba bukunya meledak tak terkendali. Namun kebanyakan penulis yang bukunya best seller sangat sadar dengan penetrasi pasar. Tapi jangan diartikan ”pasar” di sini sekadar uang dan uang, tapi insting menulis yang mempertimbangkan lapisan pembaca apa yang menerima buku itu. Gagal menemukan rumusan itu, besar kemungkinan buku itu akan menjadi penghuni gudang abadi atau kotak obral saban 17 Agustus atau pesta Book Fair.

Lumayanlah buku ini membantu mempertajam insting pasar itu. Juga memberi banyak contoh bagaimana mendorong motivasi menulis yang tiada terhenti agar nama menjadi brand yang laku untuk dijual. Dan brand biasanya terbangun oleh rutin dan terencananya kita mengeluarkan buku-buku terbaru. Tak perlu terlalu serius, tapi punya kekhasan dan daya tawar untuk dibaca.

Tapi buku ini tampaknya dipersembahkan Edy buat orang sibuk dan bekerja di kota-kota besar yang menyita banyak waktu luang. Ulasan yang pendek-pendek, jenis-jenis buku yang dijadikan acuan, bahasa yang ringan, dan jumlah halaman yang tipis, cukup menjadi alasan untuk itu. Makanya, bagi peminat buku serius, buku ini tak lebih semacam snack. Gurih, renyah. Tak mengenyangkan, tapi selalu dicari. Karena hidup tak melulu 4 sehat 5 sempurna, bukan? Snack juga perlu.
[+baca-]

Friday, September 19, 2008

G 30 S, Klandestin Setengah Hati

Oleh Muhidin M Dahlan


Judul Buku: Dalih Pembunuhan Massal
Diterjemahkan dari: Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia
Penulis: John Rossa
Penerjemah: Hersri Setiawan
Penerbit: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008
Tebal: xxiv+392 halaman


Inilah misteri sejarah yang paling dinamik yang diulik banyak orang sampai kini: Gerakan 30 September (G 30 S). Sebab ia tak semata persoalan “kup” politik, melainkan juga berkait peristiwa sesudahnya: pembunuhan massal dan asasinasi total atas seluruh gerakan kiri di Indonesia. Dalam hal ini PKI dan seluruh aliansinya, termasuk pendukung setia Sukarno.

Buku yang disusun John Rossa ini mesti kita beri rak terhormat dalam tumpukan kepustakaan G 30 S. Ia tak saja menumbangkan banyak analisis sebelumnya yang selalu mencari siapa dalang sesungguhnya dari peristiwa G 30 S itu (PKI, Sukarno, Angkatan Darat, Suharto, CIA); tapi ia menjalin kembali cerita baru yang segar dari serakan data yang membuat kita terhenyak. Betapa tidak, buku yang disusun laiknya roman detektif ini berkesimpulan: G 30 S adalah gerakan militer paling ngawur dan iseng, klandestin setengah hati, dan sama sekali tak direncanakan secara matang. Tapi akibat yang ditimbulkannya luar biasa parah. Ia dijadikan kelompok “militer kanan” sebagai dalih pembantaian massal yang sungguh tak terperikan.

Bagi sejarawan University of British Columbia, Vancouver, Kanada, ini, tak ada dalang utama yang mengerjakan proyek mengerikan ini. Yang ada ialah siapa yang paling diuntungkan setelah kejadian ini, ketika pada 1965 konfigurasi kekuatan politik tinggal dua kutub: PKI dan Angkatan Darat di mana bandulnya ada pada Presiden Sukarno.

Gerak pertama yang coba dilakukan Rossa adalah mempertanyakan seluruh analisis dan kesimpulan dari buku-buku yang sudah ada. Dengan gaya laiknya pakar forensik, ia membedah kembali dokumen Jenderal Pardjo yang disebut Rossa “sumber utama paling kaya serta paling bisa dipercaya”, selain karena ia memang tokoh inti dalam G 30 S. Hasilnya bahwa gerakan putsch ini dipimpin Sjam. Sekaligus ini menggugurkan pendapat Benedict Anderson dan Harold Crouch yang berpendapat bahwa perwira-perwira militer yang berperan penting (Untung, Latief, Soejono, Soepardjo).

Dengan petunjuk itu, Rossa mengejar identitas Kamaruzaman (Sjam) dan menemukan bahwa orang ini bawahan setia Aidit selama 15 tahun—yang sekaligus kesimpulan ini menampik spekulasi Wertheim dalam Indonesia’s Hidden History bahwa Sjam adalah intel militer yang ditanam di tubuh PKI. Sjam adalah orang Biro Chusus yang dibentuk Aidit di luar ketentuan Konstitusi Partai. Tugasnya untuk mendekati militer dan bertanggung jawab semata kepada Aidit. Jadi wajar kemudian anggota Politbiro dan Comite Central tak mengetahui secara detail kerja-kerja klandestin Biro Chusus ini.

Jika pun PKI ini terlibat, tulis Rossa, dua orang inilah yang mesti bertanggung jawab. Rossa percaya pada kesimpulan Iskandar Subekti—panitera dan arsiparis Politbiro—bahwa G 30 S bukan buatan PKI, dalam hal ini yang memikirkan, merencanakan, dan memutuskan. Sebab jika ia merupakan gerakan dari PKI, atau gerakan yang “didalangi” PKI, mestinya ia dibicarakan dan diputuskan badan pimpinan partai tertinggi, yaitu Central Comite dengan jumlah anggota 85 orang, dan hal ini tak pernah dilakukan sama sekali. Gerakan ini hanya diketahui beberapa gelintir orang dalam partai yang disebut Sukarno sebagai “oknum-oknum PKI yang keblinger”.

Jika Aidit melakukan gerakan “mendahului” atas musuh utamanya (Angkatan Darat) itu, apa alasannya? Aidit sangat insyaf bahwa partainya akan habis jika berhadapan muka-muka dengan Angkatan Darat lantaran nyaris mutlak anggotanya tak bersenjata. Jalan klandestin yang diambilnya dengan bekerja sama dengan perwira-perwira dalam tubuh Angkatan Darat sendiri dimaksudkan untuk menyelamatkan warga partai dari amukan bedil tentara.

Lagi pula Aidit mulai gelisah, bagaimana partai yang kian hari kian membesar ini tak menemukan arena bermain yang demokratis, yakni Pemilu. Sukarno pun tak menunjukan tanda-tanda akan menyelenggarakan pesta demokrasi lagi setelah sebelumnya yang direncanakan dilangsungkan pada 1959 dilucuti Angkatan Darat pimpinan Nasution yang “memaksa” Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli.

Dalam hitungan PKI, jika Pemilu dibuka pastilah mereka akan keluar sebagai juara. Sementara pimpinan teras Angkatan Darat dan sekutu Amerikanya ketar-ketir melihat kerumunan besar semut-semut merah itu di jalanan. Tapi mereka tak berani melakukan tindakan mendahului karena berdasarkan pengalaman, semua tindakan mendahului akan kalah, seperti kudeta gagal Nasution pada 17 Oktober 1952.

Tapi rencana ini menyelimpang. Operasi G 30 S itu dilakukan dengan tergesa-gesa. Digerakkan secara militer memang, tapi dengan cara ngawur. Sebagai seorang militer berdisiplin, Supardjo, misalnya, 3 hari sebelum operasi, berkali-kali menanyakan bagaimana kesiapan pasukan dari Jawa Barat, tapi selalu dijawab Sjam dengan murka dan mencerca para pembimbang sebagai pengecut.

Pada hari “H” kesalahan terjadi beruntun. Pasukan yang menculik Nasution salah masuk rumah dan salah tangkap, karena mereka tak mengadakan “gladiresik” sebelumnya. Pasukan yang didatangkan dari Jawa Tengah dan ditugaskan “mengamankan” Istana di Monas akhirnya bergabung kembali dengan Kostrad lantaran perut keroncongan karena perempuan-perempuan yang ditugasi membuka dapur umum tak datang.

Pembunuhan seluruh jenderal pun di luar skenario. Mestinya adalah: “Tangkap. Jangan sampai ada yang lolos”. Tapi betapa kagetnya Omar Dani setelah tahu bahwa jenderal dibunuh atas komando langsung dari Sjam. Saat itu Dani langsung berfirasat akan terjadi malapetaka besar. Disusul lagi ketaksetujuan Sukarno atas gerakan ini yang membikin kalap penggeraknya. Sementara janji Sjam bahwa G 30 S disokong jutaan massa PKI yang akan turun ke jalan-jalan tak pernah ada karena memang cuma hayalan Sjam. Karena memang jutaan anggota PKI itu tak mendapatkan informasi yang jelas soal putsch itu.

Dan inilah yang ditunggu-tunggu Angkatan Darat yang dibantu oleh CIA Amerika, biarkan lawan mendahului untuk menjadi dalih bumi-hangus. Di titimangsa ini Rossa tetap kukuh membantah spekulasi bahwa bahwa Angkatan Darat dan Amerika yang menjadi pengendali utama peristiwa ini. Termasuk spekulasi naif yang mengatakan Suharto adalah otaknya.
Gerakan ini tetap berasal dari Aidit, Biro Chusus, dan sekelompok perwira dan dirancang untuk berhasil. Ia gagal bukan karena dirancang untuk gagal, tapi karena diorganisasi dengan cara sangat buruk; sementara Angkatan Darat sudah mempersiapkan pukulan balik jauh sebelumnya. Mereka dilatih, dipersenjatai, dan didanai oleh Dewan Keamanan Nasional (NSC, National Security Council) Amerika Serikat sejak 1957.

Peristiwa putsch ini hanya dijadikan dalih Angkatan Darat untuk menghancurkan seluruh gerakan kiri di Indonesia. Karena PKI lah yang jadi batu sandung terkuat menghalangi perwira-perwira seperti Nasution yang—meminjam ungkapan politikus veteran Sjahrir—memendam “cita-cita militeristik dan fasis” untuk pemerintahan Indonesia. Kekuatan kiri ini juga yang jadi batu sandung berkuasanya modal asing Amerika.

Karena itu, Rossa menegaskan, bahwa sebetulnya Suharto tak peduli siapa organisator G 30 S ini karena memang tak penting. Mahmilub yang dia dirikan juga bukan untuk mencari kebenaran, tapi manipulasi dan prasyarat formal belaka.

Momentum ini sudah ditunggu lama untuk menghantam PKI dan memakzulkan Sukarno. Maka langsung saja Suharto menyerang PKI secara menyeluruh setelah 4 hari kejadian, sambil pura-pura melindungi Sukarno yang sampai wafatnya tak sepatah kata pun menyebut PKI sebagai pengkhianat untuk peristiwa dengan skala kecil seperti G 30 S ini.

Angkatan Darat melancarkan gaya “black letter (surat kaleng)” dan “operasi media”. Pelbagai bukti direkayasa untuk memperlihatkan kebencian atas orang-orang PKI, seperti kemaluan para jenderal disilet-silet Gerwani. Dengan agregasi dan modal kampanye hitam itu pasukan elite Angkatan Darat (Kostrad) kemudian terjun ke daerah-daerah dan memompa hasrat warga sipil untuk buas membunuh sesamanya.

Buku ini dengan terang membantu membaca silang-sengkarut interpretasi sekaligus membongkar hayat-sadar kita akan pengeramatan peristiwa yang relatif kecil (G 30 S) di mana justru menghapus ingatan akan peristiwa yang luar biasa jahatnya setelahnya, yakni pembunuhan massal yang tak terperikan.

* Muhidin M Dahlan, penulis buku Lekra Tak Membakar Buku (2008)
[+baca-]

Sunday, March 23, 2008

Penerbit Jogja Membela Diri

Oleh Muhidin M Dahlan

Judul: Declare, Kamar Penerbit Jogja (1998-2007)
Penulis: Adhe
Penerbit: Komunitas Penerbit Jogja
Terbit: 2007
Tebal: xxxvi+341 halaman


Resensi di majalah Tempo pada bulan awal 2001 yang ditulis Nirwan Dewanto tentang terjemahan Milan Kundera oleh Penerbit Akubaca itu memang menusuk kalbu. Jika ada yang bilang bahwa resensi itu tak mengguncangkan, itu dusta besar. Sebab resensi yang menuding penerbit Jogja sebagai penerbit yang tak becus menggarap buku cukup bikin gerah.

Beberapa pentolan penerbit Jogja, termasuk Adhe (penulis buku ini), Anas Syahrul Alimi, Buldanul Khuri dan yang lain-lain nggerundel dan berencana membikin forum mengadili karya-karya terjemahan intelek-intelek Jakarta, termasuk terjemahan Nirwan Dewanto, kalau terjemahannya ada. Ada juga rencana menggelar pengadilan buku dengan tema: “Jogja Membela Diri”.

Forum itu setahu saya tak pernah ada. Bahkan setelah satu per satu muka berminyak para aktivis perbukuan itu menggesek tanah setelah panggung yang mereka ciptakan dengan gagah dan penuh kenekatan itu rubuh. Barangkali sisa dari gerundelan itu adalah buku ini.

Ini bukan buku yang dibuat oleh seorang ilmiawan dengan ditulis bergaya penelitian yang dingin, objektif, dan berjarak dari sumber serta suasana. Ini juga bukan tulisan seorang etnografis, yang walaupun menyentuh, tapi tetap saja tak ikut serta dalam deru buku Jogja 1998-2004. Ini lebih tepat disebut pleidoi dari aktivis perbukuan di Jogja setelah terus dirundung dakwaan yang bertubi-tubi dari pelbagai penjuru kota, terutama sekali dari Jakarta. Sebab penulisnya sendiri adalah pesakitan utama.



TAK ada fase yang mengharu biru dari Jogja selepas Presiden Soeharto jatuh ditimpuki demonstrasi mahasiswa selain perayaan penerbitan buku. Adhe menceritakan dengan segamblang-gamblangnya bagaimana sebuah penerbitan lahir dari sebuah warung remang-remang dan beroperasi di gang-gang sempit dan bahkan dalam sebuah kamar pengap sewaan yang tak urung sewanya pun masih dinegosiasi waktu dan ongkosnya.

Semua orang di luar Jogja kerap di kepalanya terbangun asumsi bahwa menerbitkan buku harus kondisinya seperti Gramedia, Yayasan Obor Indonesia, dan sederet penerbit-penerbit tua dan mapan dengan gedung-gedung yang mentereng dan asupan modal ratusan juta rupiah. Di Jogja, mereka sungguh kaget dan nyaris tak percaya bahwa buku-buku yang mereka baca selama ini diproduksi oleh penerbit yang terletak di ujung gang dan kerap dihadang plang: “Turun dari Motor Mas, Kalo nggak Benjut”.

Penerbit Jogja yang lahir pada 1998 dan mencapai puncak kegemilangannya antara tahun 2000-2002 adalah riwayat dari gabungan sikap idealis, keras kepala, nekat, dan sekaligus ngawur. Mereka tak terlalu repot dengan pertanggungjawaban modal, pengawasan produk yang berlapis dan berular-ular. Mereka juga tak dipusingkan dengan soal hak cipta yang kerap disoal dan dibesar-besarkan.

Semuanya bergerak cepat dan sigap. Naskah dikerjakan secepat-cepatnya dan dikoreksi sesigap-sigapnya. Persoalan terlalu banyak kesalahan, itu soal lain. Ada perlombaan di antara penerbit untuk menerbitkan buku. Kalau misalnya muncul fenomena buku sampai berganda empat (kasus Tan Malaka), bahkan sampai berganda sepuluh (kasus Khalil Gibran), itu adalah bagian dari risiko di sirkuit buku paling ajaib di Indonesia.

Tapi, semua hiruk-pikuk itu hanya di Jogja. Dan nyaris semua kepala nengok ke Jogja ketika bermunculan “buku-buku aneh”. Kalau kritik berjubel-jubel kemudian dialamatkan ke kota ini, itu tak terlalu mengagetkan. Penerbit di kota ini dikritik, tapi buku-buku cendekia dari kota semisal Jakarta mengalir terus ke kota ini. Bisa dideret sebabnya. Boleh jadi karena tak perlu menunggu antrian lama sebagaimana prosedur menerbitkan buku di penerbit-penerbit mapan yang minta ampun ribet dan lamanya. Di Jogja, sekali buku disetujui untuk diterbitkan, pekan depan penulisnya sudah bisa menyunggingkan senyum melihat bukunya sudah nangkring di rak toko buku. Soal laku atau tidak, itu soal yang lain lagi.

Dari seluruh kenekatan dan mungkin sikap banal dan keras kepala itu maka boleh dibilang Jogja telah mematahkan mitos bahwa menerbitkan buku itu sulit dan rumit. Manusia-manusia yang ingin menjadi cendekia tapi levelnya di kelas sangat bawah sangat terbantu dengan kondisi sirkus buku seperti yang terjadi di kota ini. Bahwa menulis buku semata milik kelas penulis elite berhasil diruntuhkan seketika oleh ulah grasah-grusuh penerbit di Jogja ini. Naskah apa pun bisa dan layak diterbitkan. Sirkus ini melahirkan juga gaya bikin buku dengan jurus “ATM” (amati, teliti, modifikasi) atau “Spanyol” (separuh nyolong).

Tapi ada juga ongkos dari semua ini. Karena dikerjakan oleh anak-anak muda yang terjun ke dunia buku dengan separuh nekat, maka jangan tuntut mereka untuk disiplin. Disiplin dalam hal apa saja. Jika royalti penulis terus dikemplang, jangan terlalu cerewet. Jika hak cipta buku terjemahan tak pernah diurus, jangan salah sangka sebab kalau sibuk ngurusi hak cipta itu ntar gimana kalau disalip penerbit lain yang lebih nekat dan cepat. Kalau gaji karyawan dibayar murah, jangan heran. Jika utang menggunung di percetakan atau distributor, jangan sakit kepala. Jika kepala-kepala penerbit yang rata-rata berusia belia ini susah dihubungi, jangan memaki karena mereka tengah dikejar para penagih dari sembilan penjuru mata angin.

Dan jika mereka pada akhirnya jatuh, mari tegakkan keyakinan bahwa itu hanya sesaat saja. Mereka punya sembilan nyawa dan naluri perbukuan untuk bangkit. Penulis buku ini memang jatuh bangkrut bersama penerbitnya, tapi ia tetap tegak dan kembali ke kemampuan asalinya sebagai penulis. Karena memang Adhe terjun ke penerbitan bukan karena ia telah mengantongi ilmu manajemen yang mbegawani dan matang. Hanya ia suka saja menulis dan membaca buku.

Di Jogja, itu hal biasa. Sebagaimana mesti juga diketahui, bahwa menerbitkan buku adalah separuh dari judi. Pemilik Penerbit Pustaka Pelajar, Cak Ud, pernah mengatakan kepada saya beberapa bulan sebelum para aktivis perbukuan Jogja periode 1998 itu tersungkur, bahwa semua hiruk-pikuk itu tak lama akan berakhir. Sebab mereka (para pekerja buku yang penuh semangat itu) tak sedang menaiki tanjakan 30 derajat. Mereka para pendaki gunung 90 derajat yang bersemangat dan berjudi dengan nasib. Mungkin hari ini mereka bisa menikmati kemewahan seperti menaiki mobil BMW atau berumah mewah, tapi lihatlah sebentar lagi. Mereka semua akan terjatuh karena dakian yang mereka pilih terlalu curam dan berisiko sangat tinggi di mana pakar manajemen yang sudah berpengalaman puluhan tahun mengamati usaha-usaha pemasaran produk yang dilakukan manusia pun bisa geleng-geleng kepala.

Soalnya tiada lain gaya hidup yang luar biasa mewah dan sekaligus boros tak seimbang dengan risiko bagaimana manajemen pemasaran buku itu dibuat. Bahkan ada salah satu aktivis perbukuan di Jogja yang turut jatuh bersama berseloroh, sistem pembelian dengan Bilyet Giro (BG) itu nggak ada bedanya dengan membeli buku dengan uang palsu. Uangnya memang langsung dinikmati dan risiko akan datang kemudian hari ketika buku-buku itu dikembalikan ke penerbit lantaran tak laku. Dan jatuh bebas itu terletak di sini.

Tapi sudahlah. Semuanya sudah patah dan jatuh. Kendali atau kiblat perbukuan sudah kembali ke Jakarta. Dan buku ini cukup sebagai rangkaian dari memori banding dari dakwaan yang menghujam selama ini. Adhe sudah menulis pleidoi ini dengan baik. Apa pun kata orang, pembelaan ini penting agar orang juga tahu apa yang terjadi di dalam kamar-kamar kos penerbitan Jogja itu. Sebagai sesama aktivis buku yang tidur, makan, dan berak di kamar-kamar penerbit buku Jogja itu, saya ucapkan terima kasih kepada Adhe.
[+baca-]

Sunday, March 16, 2008

Para Sais Pers yang Terangi Tanah Air

Oleh Djanalis Djanaid

Judul Buku: Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia
Penulis: Taufik Rahzen et.al
Penerbit: I: Boekoe dan The Blora Institute, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: xiv + 460 halaman


Pengarang terkemuka Amerika Mark Twain pernah mengemukakan rasa kagumnya atas kekuatan pers. Ia mengatakan, hanya ada dua kekuatan yang dapat memberi penerangan ke semua sudut dunia ini, yakni matahari di langit dan Associated Press (AP) di bumi. AP, seperti diketahui, adalah sebuah kantor berita besar di Amerika Serikat. Dengan wartawannya yang bertugas di berbagai kota negeri itu dan juga negara-negara lain, kantor berita itu dapat mewartakan beragam kejadian di ujung-ujung dunia.


Tetapi, untuk memahami bagaimana peran dan kekuatan pers, tidak perlulah harus bersusah-payah mencari berbagai informasi tentang AP. Ada banyak buku yang membahasnya. Namun, memang, tidak banyak yang memberikan gambaran dan wawasan luas serta mudah dipahami. Buku ini adalah satu di antara sedikit yang dapat memuaskan pembacanya.

Ditulis oleh para penulis yang usianya rata-rata masih di bawah 25 tahun, buku ini seolah ingin mengulang sejarah perjuangan banyak tokoh pers negeri ini yang mengawali profesinya di usia muda. Tokoh pers yang paling terkemuka adalah Tirto Adhi Soerjo, yang meninggal secara tragis setelah memberikan kehidupannya untuk dunia pers dan kemerdekaan bangsanya. Pada usia 22 tahun, Tirto Adhi Soerjo sudah menjadi pemimpin redaksi Pembrita Betawi dan di usia 23 tahun menerbitkan koran nasional pertama, Soenda Berita.

Lewat tulisan-tulisannya Tirto menunjukkan pembelaannya kepada warga pribumi yang tertindas dan menyerang para penguasa sewenang-wenang. Tidak hanya para bupati tetapi juga para pejabat kolonial Belanda. Akibat pandangan dan tindakan-tindakannya itu, perusahaan persnya, NV Medan Prijaji, dipailitkan. Ia pun digugat, disandera, disita semua hartanya, dan bahkan dihukum buang ke Ambon, sebelum akhirnya meninggal di Jakarta. Sederet kata-katanya yang menunjukkan keprihatinan Tirto sebagai jurnalis digunakan penulis sebagai judul tulisan tentang tokoh ini: "…bangsa kita sudah tidak ambil peduli pada bangsanya yang telah jadi setengah atau jadi Belanda."

Penggunaan kutipan sebagai judul untuk melukiskan sebagian besar dari 100 tokoh pers yang terhimpun dalam buku ini memang efektif. Dari judul saja sudah bisa diraba bagaimana kualifikasi, atau setidaknya pandangan tokoh yang ditulis. Untuk melukiskan Dowes Dekker, misalnya, dikutip kata-katanya, "Aku seorang Indo, aku bangsa Indonesia". Penulis juga mengutip pidato Raden Mas Pandji Sosrokartono di Kongres Bahasa Belanda di Ghent, Belgia, pada 1899, untuk menggambarkan tokoh yang pernah menjadi wartawan perang di Eropa pada Perang Dunia I. "…hidupkanlah rasa persaudaraan antara bangsamu dan bangsa yang engkau jajah…"

Penyusunan seratus tokoh pers di buku ini tidak didasarkan pada ranking atau bobot kehebatannya. Ini kiranya langkah yang tepat. Tentu saja para jurnalis yang berjasa pada negeri ini ada ribuan. Namun seratus tokoh di buku ini dapatlah menjadi representasi dari para sais, yang oleh para penulisnya disebut "bekerja sepenuh jiwa di dalamnya dalam mengartikulasikan dan memberi sumbangan kepada bahasa Indonesia dan tanah air dalam membangun citra untuk apa dan dalam posisi apa nasionalisme dibangun dari kurun ke kurun."

Nama-nama yang terhimpun dalam buku ini memang beragam, Mereka mewakili generasi awal abad ke-20, generasi tahun 1940-an, 1960-an hingga sesudahnya. Mereka datang dari berbagai suku dan etnik. Ada Jawa, Sunda, Minang, Batak, Bali, Minahasa, Tionghoa, dan sebagainya. Simak saja nama-nama seperti Ki Hadjar Dewantoro, Soekarno, Mohammad Hatta, Abdurrachman Baswedan, Parada Harahap, Liem Koen Hian, Iwa Koesoemasoemantri, Sutan Takdir Alisjahbana, Ahmad Dahlan, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Adam Malik, SK Trimurti, Sam Ratulangi, Abdul Azis dan Toety Azis, Ketut Nadha Nugraha, dan Mahbub Djuaedi. Dari generasi berikutnya ada nama-nama seperti Nono Anwar Makarim, Atang Ruswita, Jacob Oetama, Ashadi Siregar. Dahlan Iskan. Erros Djarot, Maria Hartiningsih, Boediono, Sindhunada, Saur Hutabarat, Fuad Muhammad Syafruddin, dan lain-lain, Dimasukkan juga Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Jurnal Pantau.

Dari para tokoh pers yang terhimpun dalam buku ini kita bisa belajar banyak. Kita bisa belajar tentang keberanian dan idealisme, tentang kearifan, keindahan sastra, kepiawaian menulis, hingga kecerdikan dalam berbisnis. Contoh terakhir ini adalah Dahlan Iskan. Berkat kecerdikan dan kerja kerasnya, jurnalis ini sekarang menjadi "Raja Media" dengan Grup Jawa Pos yang memiliki puluhan koran, tabloid, dan majalah, juga beberapa televisi lokal.

Tetapi, apa yang tampaknya digarisbawahi dengan tebal adalah jasa para tokoh tersebut dalam mengembangkan bahasa Indonesia. Contoh yang sangat menonjol adalah Agus Salim, yang menggunakan bahasa Melayu saat berpidato di Volsraad pada 1920-an, bahkan sebelum Sumpah Pemuda 1928. Pimpinan sidang Volksraad waktu itu menegur dan memintanya berpidato dalam bahasa Belanda. "Saya memang pandai berpidato dalam bahasa Belanda, tapi menurut peraturan dewan, saya punya hak untuk mengeluarkan pendapat dalam bahasa Indonesia," katanya.

Benarlah bila dikatakan, para tokoh pers itu adalah mereka yang membangun, memelihara, memberi citra, menaklukkan, sekaligus memberi penghuni pada bahasa Indonesia. (*)

Djanalis Djanaid, jurnalis, pengajar FIA Universitas Brawijaya

* Digunting dari Harian Jawa Pos Edisi Minggu, 16 Mar 2008
[+baca-]

Friday, November 16, 2007

Goenawan dan Harapan yang Tak Selesai

Oleh Zen Rachmat Soegito

Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai
Penulis: Goenawan Mohamad
Diterjemahkan: Katakita (2007)
Tebal: 150-an halaman


Siapa yang berharap ia harus siap kecewa.

Saya mencari, membeli dan lantas mulai membaca buku “Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai” karya Goenawan Mohamad dengan sejumlah harapan. Tapi sayangnya saya menangguk kecewa karenanya.

Pada 23 September 2007, saya membaca sajak-sajak Goen di Kompas; sajak-sajak yang menafsir-ulang roman klasik Cervantes dan menatahnya kembali menjadi rentetan bunyi, kata, baris dan bait yang mengesankan, juga memesona. Seorang teman yang sedang jatuh cinta, amat sering membaca dua baris sajak Goen –dua baris sajak yang kata temanku itu bisa menggambarkan suasana hatinya: “Aku Don Quixote de La Mancha, majenun yang mencarimu.”

Dan di bawah sajak-sajak itu, tercetak beberapa baris atribusi Goen yang salah satunya berbunyi: “Dalam waktu dekat akan terbit buku kumpulan aforismenya, Tentang Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai”.

Saya tidak tahu atribusi itu dibuat Goen sendiri atau dibuat oleh Hasif Amini, editor (tamu) rubrik puisi Kompas yang juga sahabat Goen. Dan, terus terang saja, atribusi itu membuatku menunggu terbitnya buku Goen yang satu ini.

Saya berharap akan “menemukan Goen yang lain”, bukan Goen yang menulis Catatan Pinggir (Caping), bukan Goen yang menulis dengan serakan kutipan dan nama-nama besar yang frase-frasenya dicuplik dengan pas dan seringkali cantik.

Goen yang macam itulah, juga Goen yang penyair, yang saya kenal pertama kali di semester pertama kuliah. Via Caping dan puisi-puisinya tentu saja. Saya membacanya, kadang saya ikut-ikutan gayanya menulis (terutama gaya dia menyusun lead) dan bukan sekali dua saya mengutipnya.

Saya seringkali tergoda untuk mencari dan membaca buku-buku yang dicuplik/diulas Goen di esainya. Ulil Abshar Abdalla, dalam esai obituari Edward Said di Kompas, pernah menyebut Goen sebagai “makelar budaya” yang pintar mengenalkan dan memprovokasi orang untuk juga membaca buku-buku yang dikutipnya.

Nirwan Arsuka, dalam salah satu sesi workshop penulisan esai di Yogyakarta beberapa bulan silam, menyebut hampir tak ada penulis esai (berusia muda) di Indonesia yang tak membaca Caping dan banyak di antaranya kepincut dengan Caping. Nirwan, saya kira, tak berlebihan, setidaknya bagi saya pribadi.

Tapi, jujur saja, belakangan saya jarang bisa menikmati Caping seperti beberapa tahun silam. Seringkali saya menangkap kesan Goen mengulang kembali apa yang sudah ditulis sebelumnya; sesuatu yang cukup wajar karena Caping ditulis terus menerus per pekan. Terutama ketika berbicara tentang Tuhan, agama dan sikap keberagamaan, spiritualitas, sekulerisme, Goen –saya kira—selalu berbicara dengan sudut pandang dan pokok pikiran yang sama.

Di satu sisi ini sebentuk konsistensi Goen dalam tema-tema itu, tapi –jujur saja—saya tak banyak menemukan hal yang baru di situ. Saya tidak menyebut repetisi, apalagi copy-paste, karena Goen –seperti biasa—tetap menghadirkan kutipan-kutipan segar dan baru, mengenalkan pemikir dan nama-nama baru, dan terkadang diksi-diksi yang tak saya kenal yang membuat saya penasaran dan terpaksa membuka KBBI yang bercover merah itu.

Tapi, itu permukaan. Di jantungnya yang terdalam, Goen tetap berbicara dengan sudut pandang dan pokok pikiran yang sama dalam tema-tema itu: merayakan pluralisme, spiritualitas yang melintasi sekat-sekat primordialisme dan agama, dll.

Itulah sebabnya, sekitar dua tahun terakhir, tiap kali Goen menulis tema-tema itu, saya kadang membacanya sepintas lalu saja dan –tentu saja— tanpa greget seperti saya membacanya empat atau lima tahun silam.

Ketika mendengar akan terbit buku Goen yang baru, saya berharap akan menemukan Goen yang –seperti “dijanjikan” oleh atribusi Goen di bawah sajak-sajaknya di Kompas- menulis aforisma: kalimat-kalimat yang ringkas, padat, tidak bertele-tele dan tidak “menghambur-hamburkan” kutipan. Mungkin seperti Kalender Kearifan-nya Leo Tolstoy atau kalau pun tulisannya agak panjang ya… seperti Sang Nabi-nya Kahlil Gibran atau tulisan-tulisannya Inayat Khan (untuk menyebut yang pernah saya baca).

Saya tidak berharap Goen akan berbicara dengan sudut pandang atau pokok pikiran yang baru dan mengejutkan, karena Goen –saya menebak ketika itu—akan tetap berbicara dari semangat dan pokok pikiran yang sama. Jadi, harapan saya pada buku Goen yang baru ini, adalah harapan yang –katakanlah—harapan yang sifatnya “teknis”: soal cara Goen menulis. Itu saja harapan saya.

Dan, itulah yang terjadi: siapa yang berharap ia mesti bersiap kecewa. Kali ini saya yang berharap dan akhirnya kecewa.

“Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai” adalah buku yang tak banyak bedanya dengan Caping. Tak hanya itu, para pembaca setia Caping niscaya dengan mudah menemukan tema-tema yang juga pernah diuraikan Goen di Caping dan dengan sudut pandang yang juga sama.

Hal itu bahkan sudah terlihat dalam tulisan I (ada 99 tulisan Goen di sini, dan masing-masing tulisan oleh Goen disebut sebagai “tatal”: serpihan-serpihan kayu yang dipadatkan, tiang-tiang mesjid Demak terbuat dari bahan tatal macam itu). Di situ, Goen menulis tentang tatal yang menopang mesjid Demak. Goen, di situ, membayangkan agama yang tersusun oleh hal-hal yang terbuang, seperti remeh serpih kayu yang disusun jadi tatal, bukan oleh pokok yang lurus dan kukuh.

Tulisan pertama ini bukan hanya berbicara dengan pikiran yang sama dengan esai-esai Goen yang lain jika berbicara tentang Tuhan, agama dan keberagamaan atau spiritualitas, tetapi tema tentang mesjid Demak dan tatal juga sudah diuraikan Goen di Caping berjudul “Jenar” yang tayang di Tempo edisi 12 Januari 2003.

Tema-tema yang digarap ulang kembali dengan mudah akan ditemukan oleh para pembaca yang akrab mengikuti Caping. Sekadar menyebutkan contoh: tulisan ke-24 tentang film the Passion of Christ, tulisan ke-28 (lead tulisan ini bahkan hampir sama dengan Caping berjudul “Pagoda”), tulisan 32 yang mengutip puisi Chairil, tulisan 35 yang menyinggung soal momen sederhana seperti melihat burung kecil yang mengejutkan, tulisan 60 tentang menara Babel (pernah digarap sewaktu Goen mereview film Inarritu, Babel).

Itu adalah contoh yang saya pilih secara acak. Seandainya saya menulis ini di ruang perpustakaan saya sendiri, dengan koleksi Caping yang lengkap, saya niscaya bisa menemukan lebih banyak. Sebab, banyak sekali bagian yang rasanya saya akrab dan pernah membacanya, tapi saya lupa persisnya di Caping edisi berapa itu pernah muncul.

Belum lagi soal “hobi” Goen yang lain yaitu mengutip frase-frase atau bait-bait sajak hasil karya orang lain. Ini juga masih sangat sering muncul di buku Goen yang ini. Kutipan-kutipan itu, tidak hanya dikutip lengkap, semisal satu baris, satu frase atau satu bait, tapi sering juga satu kata.

Kadang, jujur saja, saya terganggu dengan cara Goen menyelipkan kutipan satu kata untuk menjelaskan apa yang ingin disampaikannya.

Misalnya pada tulisan 51: “Di baliknya ada masyarakat, kekuasaan, juga hukum: sebungkah mereka (l’autre, kata Lacan) yang memberi diriku stabilitas sebuah nama, sebuah identitas, melalui bahasa.”

Atau pada tulisan 52: “Dan di tatapan subyek seperti itulah dunia tersaji bagaikan gambar –sebagai weltbild, untuk memakai kata-kata Heideger, dunia yang diringkas jadi obyek…”

Karena saya berharap tidak melihat Goen yang menulis Caping, seperti yang sudah saya ceritakan di awal, saya kecewa menemukan hal-hal semacam itu di buku Goen yang ini. Kutipan l’autre dari Lacan atau Weitbeld dari Heideger itu terasa seperti menggambarkan Goen yang kurang yakin bahwa pembaca juga belum mengerti apa yang hendak ia sampaikan. Menurut hemat saya, penulis esai pemula, seandainya Goen tak mencantumkan l’autre dan weitbeld sekali pun, pembaca tetap bisa menangkap apa yang hendak ia utarakan. (Atau mungkin Goen kurang percaya diri? Mudah-mudahan bukan.)

Tulisan-tulisan dalam “Tuhan dan Hal-hal yang Tak Selesai”, apa boleh buat, memang tak banyak berbeda dengan Caping. Kita juga masih akan sering menjumpai tulisan-tulisan yang panjang, tulisan-tulisan yang –bagi saya—jauh dari ringkas. Lebih pendek dari Caping, memang, tapi masih bergaya Caping. “Caping banget”, pinjam istilah anak-anak sekarang. Kata-kata masih “berhamburan”, masih muncul beberapa kutipan yang –bagi saya—tidak perlu.

Dan karenanya, kalau bolehlah saya menilai: Goen terasa bertele-tele dan seakan tak yakin bahwa pembaca bisa mencerna apa yang ingin ia katakan bisa ditangkap hanya lewat tulisan pendek atau paragraf yang ringkas atau pasase yang padat.

Padahal, Goen bisa menyusun tulisan pendek yang ringkas dan padat, dengan paragraf berjumlah satu atau dua biji saja, dan hasilnya bagus juga.

Misalnya, saya contohkan beberapa, tulisan 37: “Dilihat dari langit dan keabadian, sejarah tak berbunyi, tak berwarna; tak merisaukan hati: kisah kegagalan yang tak menimbulkan jera, kegairahan dan trauma yang tak dijumlah karena tiap kali terasa berbeda. Ini menjelaskan kenapa dewa-dewa dalam Mahabharata dan Illiad berbuat heboh dan tanpa sesal.”

Sayangnya, yang seperti itu tak banyak jumlahnya. Kebanyakan, kalau boleh saya bilang, seperti Caping yang (di)pendek(kan). Ada beberapa paragraf yang kuat dan mengesankan, tapi karena Goen tak mampu menahan hasratnya untuk terus berkata-kata, paragraf yang kuat tersebut jadi berkurang kemandiriannya (dan kekuatannya), karena diimbuhi oleh paragraf lain lengkap dengan kutipan dari pemikir lain.

Buku ini, karenanya, masih menampakkan Goen yang menulis Caping, sebagai esais yang masih merasa perlu “mendesakkan” banyak kata-kata.

Jika saya editor buku ini, mungkin saya akan mencantumkan sub-judul berbunyi: “Versi Lain Catatan Pinggir” atau mungkin “Catatan Pinggir Volume 7 “.


[+baca-]

Sunday, October 28, 2007

Menukar Kemapanan dengan Perpustakaan

Oleh Efri Ritonga

Judul: Leaving Microsoft to Change the World
Penulis: John Wood
Penerbit: Bentang Pustaka
Penerjemah: Widi Nugroho
Tebal: 367 halaman
Cetakan: I, Agustus 2007


"Bodoh sekali orang itu! Dia seharusnya bisa tetap jadi dermawan tanpa perlu keluar dari Microsoft." Belum lagi saya selesai menceritakan ringkasan buku ini, seorang teman diskusi di suatu siang sudah meraung dan mengomel gusar. Naif sekali, dalam pandangan dia, mundur dari jabatan sebagai eksekutif perusahaan terkaya di dunia demi mengejar cita-cita baru yang absurd: mendirikan perpustakaan di Nepal.

Orang yang berpikir begitu pastilah tidak satu di muka bumi ini. Berani bertaruh, ada jutaan orang lainnya yang mengutuki John Wood. Apalagi jika mereka tahu, karena pilihannya itu, calon pengantinnya yang cantik dan seorang eksekutif periklanan mengusir John tidur di sofa sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan laki-laki gagah itu.

Namun, di sanalah, di dalam riak-riak kontroversi, terdapat daya pikat buku otobiografi ini. Seperti kata pemenang Nobel Sastra 2007, Doris Lessing, pembaca berhak menilai, penulis dilarang protes.

Petualangan John dimulai pada 1998. Dengan maksud rehat sejenak dari akselerasi kerja Microsoft, ia terbang ke Nepal. Di sebuah kedai bir--saat tengah merancang perjalanan 21 harinya menyusuri 200 mil jalan keledai dengan ransel di punggung--ia berkenalan dengan Pasuphati, pegawai Pemerintah Provinsi Lamjung, Nepal. Laki-laki paruh baya ini mengaku bertanggung jawab mencari sumber daya bagi 17 sekolah di provinsi pedalaman ini.

Dari penuturan Pasuphati, John mengetahui soal angka buta huruf di Nepal yang mencapai 70 persen, terburuk di dunia. Penyebabnya, kata Pasu, bukan karena orang Nepal malas belajar, melainkan karena negara berpenduduk 27 juta itu terlalu miskin untuk mengupayakan sekolah, buku-buku, dan guru-guru.

John penasaran dengan cerita itu. Esok paginya, mereka berdua berjalan kaki selama dua jam mengunjungi sebuah sekolah di Desa Bahundanda. Di sekolah itu ia melihat satu ruang perpustakaan yang melayani 450 siswa tanpa sebuah buku pun. "Barangkali, Pak, suatu hari Anda akan kembali dengan buku-buku." Seuntai kalimat dari Pak Kepala Sekolah itu demikian membekas di hati John, dan mengubah lintasan hidupnya selamanya.

Kembali dari Nepal ke Sydney, Australia, di sela-sela pekerjaannya sebagai Direktur Pemasaran Microsoft Australia, John bergerak menyurati keluarga, kenalan, dan siapa pun untuk mengumpulkan buku buat dikirim ke Nepal. Jauh di luar prasangka John, bergoni-goni buku baru dan bekas yang datang dari seluruh penjuru Amerika dapat dikumpulkan dan dikirim ke Bahundanda.

Sejak keberhasilan itu, John seperti dipaksa bekerja di dua tempat sekaligus. Kedua tempat itu kontras. Satu di Australia dan lainnya di Nepal. Kondisi ini membuatnya berpikir bahwa ia harus memilih salah satu. Satu setengah tahun dalam kebimbangan, pada Mei 1999 ia memutuskan keluar dari Microsoft dan mendirikan Books for Nepal. Umurnya ketika itu 35 tahun, dengan posisi terakhir sebagai Direktur Pengembangan Bisnis Microsoft Cina.

Sukses di dunia baru tidak serta-merta mendekati pemegang gelar masters of business administration dari the Kellogg Graduate School of Management, Amerika, ini. Tak kurang rintangan yang ditemui pada masa awal berdirinya Books for Nepal. Seluruh hidup John tersedot habis untuk berjualan program dari satu malam dana ke malam dana lainnya, dari Amerika sampai Eropa. Belum lagi tekanan batin karena pundi-pundi tabungannya terus menyusut.

Berlian tetaplah berlian di mana pun ia ditaruh. Walau memilih jalur nirlaba, John berupaya mencangkokkan pelajaran yang didapatnya di Microsoft, terutama dari bos yang dikaguminya, Steve Ballmer. Books for Nepal, yang kemudian pada 2001, seiring dengan ekspansi mereka ke Vietnam, bersalin nama menjadi Room to Read, terus tumbuh dengan kombinasi gairah, kerja sama tim, dan disiplin tinggi ala perusahaan kelas dunia.

Ditulis bukan oleh sastrawan, melainkan oleh tenaga pemasaran terlatih, buku ini terbukti enak dibaca. Runtutan peristiwanya detail dan runut. Tidak puitis, tidak pula bertabur metafora, gaya penuturan John yang lugas membuat buku ini mudah dicerna. Penulisnya juga membuat beberapa boks untuk menempatkan kisah-kisah khusus yang cocok sebagai jeda pandangan. Sedikit kekurangan barangkali, John kurang mengeksplorasi saat-saat tersulitnya bersama Room to Read.

Tujuh tahun sudah sejak lembaga yang dirintis John ini berkiprah, kini lembaga nirlaba itu tumbuh besar. Mereka telah membangun lebih dari 3.600 perpustakaan di negara-negara berkembang, menyumbang dan mempublikasikan 3 juta buku, membangun 287 sekolah, serta memberikan lebih dari 3.400 beasiswa jangka panjang untuk anak-anak perempuan.

Pelopornya menerima pengakuan sebagai Pemimpin Muda Dunia dari Forum Ekonomi Dunia, dan disebut sebagai Pahlawan Asia oleh majalah Time. Adapun Room to Read memenangi empat kali Social Capitalist Award dari Fast Company Magazine, Skoll Foundation Award for Social Innovation, dan menerima Draper Richards Fellowship for Social Entrepreneurs. Dalam skala lain, John dan timnya bersama-sama telah melampaui idolanya, seorang pengusaha baja yang sangat dermawan asal Amerika, Andrew Carnegie, yang membangun 2.000 perpustakaan di Eropa dan Amerika Serikat di abad ke-19. Sekarang, masihkah Anda menganggap John keliru? EFRI RITONGA

* Digunting dari Harian Koran Tempo Edisi 28 Oktober 2007


[+baca-]

Wednesday, September 26, 2007

Estetika Politik

Oleh Bastian Sambi Borges

Judul: The Nerves of Government: Models of Political Communication and Control
Penulis: Karl W. Deutsch
Penerbit: The Free Press – New York – 1966
Tebal: vii – 316 + Index


Masyarakat Indonesia di hari-hari ini sedang tidak bergairah dengan omongan tentang politik. Ketidakgairahan itu tampak dalam ungkapan yang kerap kita dengar: “Ah..jangan berbicara tentang politik melulu bila tidak ada keadilan, tidak ada kejujuran, tidak ada kesejahteraan masyarakat, dan tidak ada rasa perikemanusiaan...” De facto memang masyarakat tidak menutup mata dengan prilaku para elite negeri yang lebih suka bermain dengan api retorika politik dalam bentuknya yang banal: dangkal murah, dan kosong ketimbang yang lebih substansial: produk politik yang berdimensi pedagogis dan aplikatif (terjadinya suatu tatanan hidup yang damai, sejahtera dan berperikemanusiaan dalam masyarakat).

Sekalipun setiap warga negeri menutup matanya dengan selebaran kain tebal tanpa pori-pori udara, tetap saja terlihat secara jelas lekak-lekuk prilaku retorika politik yang banal itu. Lihat saja penampilan produk politik kepartaian (koalisi, politik pilkada, perebutan posisi-posisi dalam birokrasi), misalnya, lebih mengesankan sebuah hasil transaksi bisnis elite partai ketimbang upaya pendidikan politik bermutu untuk rakyat. Dalam arti itu politik masih dilihat sebagai peralatan kekuasaan demi kegunaan jangka pendek dan bukan sebagai pelembagaan nilai-nilai demokrasi untuk proyek peradaban jangka panjang. Maka tidak heran bila masyarakat awam selalu menganggap aktivitas poltik tak ubahnya sebuah kubangan lumpur yang mengotori siapapun.

Bagi para musafir politik sejati, fakta seperti ini cukup mengejutkan atau paling tidak megerutkan dahi. Karena antara ranah ortodoksi ajaran dan ranah ortopraksis dari wacana politik tak pernah bertaut hati secara akrab membentuk suatu habitus yang beradab. Perasaan menyesal, kecewa dan menjengkelkan, wajar saja dimunculkan dan memang harus merasakan itu supaya membuka mata, hati dan budi untuk secara cerdas mencermati dan mengkritisi arus pergerakan politik Indonesia.

Tetapi lebih dari itu kita harus berani mengajukan gugatan atas prilaku politik para elite kita. Mengapa para elite negeri ini doyan dengan permainan politik yang murahan itu? Apakah ini merupakan suatu indikasi kuat bahwa lembaga pendidikan kita terutama lembaga-lembaga yang memformat para calon politikus tidak bisa mencetak politikus atau anak negeri yang diharapkan masyarakat: bermoral, jujur, intelektualis dan mampu menciptakan suasana politik yang berperikemanusiaan. Ataukah mungkin bukan lembaganya yang dipermasalahkan, tetapi para pelakunya yang perlu dipertanyakan.

Lembaga pendidikan pada dirinya tidak mungkin kontraproduktif dengan eksistensinya sendiri: mencerdaskan manusia atau memanusiakan manusia. Singkat kata, dalam hal ini kita ada baiknya mengikuti anjuran sang guru absurd, Nietszche bahwa kita harus menebarkan “hermeneutika kecurigaan” atas sesuatu hal, terutama atas ketidakberesan hidup. Kita harus mencurigai prilaku politik, supaya setiap warga negara sadar dan tahu bahwa realitas politik adalah tidak identik dengan perbuatan curang, penipuan, atau saling sikut-menyikut.

Sejatinya aktivitas politik merupakan media publiK yang bisa dimasukkan oleh siapapun yang berkendak baik untuk menciptakan tatanan sosial yang adil, sejahtera, aman, tentram, jujur dan bebas. Kesejatiannya ini mengingatkan setiap warga akan makna asli kata politik itu sendiri yang berasal dari bahasa Yunani polis (kota yang berstatus negara kota (city state) bahwa segala aktivitas yang dijalankan polis adalah untuk kelestarian dan perkembangan orang-orang yang hidup di suatu kota (politike techne). Dengan kata lain politik pada hakikatnya merupakan the art and science of government.

Karl W. Deutsch, lewat bukunya ini tidak lain mau mengartikulasikan nilai keindahan atau estetika dari sebuah politik semesta. Politik menurutnya adalah seni pengambilan keputusan lewat sarana umum. Sarana umum bisa bermacam-macam, tetapi yang dipilihnya dalam mengembangkan diskursus politiknya ini adalah ilmu komunikasi.

Menggunakan pendekatan ilmu komunikasi bukan bermaksud untuk meramaikan bursa ide-ide politik yang bisa dipakai sebagai acuan, tetapi lebih merupakan suatu cara memberikan arah baru dalam berpolitik. Artinya politik harus diberi pijakan ide-ide segar, up to date, relevan dan kontekstual dengan situasi zamannya. Dan menurutnya salah satu hal yang berpengaruh besar terhadap perkembangan politik sekarang ini adalah pengaruh alat telekomunikasi. Sejak gelombang revolusi agraria muncul di Inggris abad ke-14-15, cara kita berkomunikasi dengan orang lain dan juga cara kita memandang sesuatu hal sangat berbeda dari sebelumnya. Pendek kata, revolusi Inggris telah memaksa manusia untuk meredefenisi dan meredesign segala sesuatu termasuk hidupnya sendiri.

Bagaimana pun juga kemajuan dunia ilmu pengetahuan yang tereksplisifikasikan dalam alat-alat teknogi komunikasi kemajuannya di hari-hari ini melampaui kesiapan manusia untuk menerimanya. Karenanya manusia tidak bisa menafikan atau menghindar diri dari gempuran alat teknolgi komunikasi tersebut. Kita harus selalu melihat bahwa ini adalah sebuah kesempatan yang bisa membantu kita untuk hidup lebih manusiawi dan lebih beradab.

Berkaitan dengan itu sebagai titik berangkat dari pemahaman tentang politik masa kini, DEutsch mengembangkan gagasan teori komunikasi yang pernah dicuatkan oleh seorang pemikir politik, Norbert Wiener, yaitu gagasan “Sibernetik”.

“Cybernetics” adalah sebuah konsep pemerintahan atau organisasi sosial yang responsif /cepat tanggap terhadap gejala sosial yang terjadi di masyarakat dan dapat memperhatikan kebutuhan individu maupun masyarakat luas. Sebagai studi sistematik atas komunikasi dan kontrol dalam seluruh organisasi, “Cybernetics” merupakan skema konseptual yang berjangkauan luas dan bisa merubah sesuatu, seperti perubahan perhatian kepentingan dari kampanye massal menuju pengaturan organisasi yang tertata rapi, dari pengambilan keputusan yang didasarkan atas daya emosional/instink menuju sistem keputusan, regulasi, dan kontrol keputusan yang transparan dan legitim.

Pandangan fundamental konsep sibernetik dan relevansinya terhadap ilmu sosial dapat dilihat pada komentar Norbert Wiener berikut ini:

Eksistensi ilmu-ilmu sosial selalu didasarkan atas kemampuan untuk memperlakukan kelompok sosial sebagai sebuah organisasi bukan sebagai onggokan/gundukan benda/barang. Dan komunikasi adalah semen perekat dari semua organisasi,… dst.

Dengan kata lain, gagasan sibernetik mau mengafirmasikan bahwa semua organisasi pada tingkat karakter fundamental tertentu adalah sama, yakni semuanya berujung pada efektivitas komunikasi. Hanya dengan komunikasilah orang mampu menyampaikan buah pikiran yang tergumpal dalam bentuk pesan dan pesan itu akan membingkai organisasi. Akhirnya sibernetik menekankan bahwa pemerintah dan sistem kemudinya (steering system) adalah salah satu proses yang paling menarik dan significant dalam membentuk wacana politik mutakhir. Karena tujuan utama dari gagasan “Cybernetic” tidak lain mau memberikan pengaruh atau asupan baru bagi kekuatan pikiran manusia secara intelektual dan emosional dan juga kekuatan kolaborasi antara pikiran dengan prilaku organisasi baik itu organisasi diri maupun organisasi pemerintahan. Atau dalam bahasa Karl Jasper disebut sebagai “The Encompassing” (pengaruh).

Penambahan kekuatan pikiran/intelektual ini terjadi pada tiga level utama. Pertama, pada level rasio manipulatif (verstand), yaitu penggunaan perangkat intelektual secara efektif mungkin (proses pemikiran pragmatis: kalkulasi untung-rugi). Kedua, pada level yang sering disebut “wisdom” (kebijaksanaan/bijaksana), yaitu bentuk pemikiran yang ketika menghadapi masalah tidak langsung memutuskan keputusan atau langkah yang harus diambil tetapi butuh waktu untuk menentukan keputusan yang cocok dengan masalah yang sedang dihadapi dan selalu diliputi oleh pertanyaan apakah keputusan itu efektif dan memberikan makna tertentu bagi perkembangan hidup orang banyak dan juga kehidupanku sendiri. Terakhir, adalah level yang bisa dianggap sangat penting sekali karena dapat merubah komunikasi kita, yakni level “perceptive reason”/vernunft (rasio yang cerdas/yang lekas mengerti). Artinya kemampuan pikiran yang bisa secara cepat memahami sesuatu hal. Untuk bisa sampai ke tahap itu orang perlu mengasa kemampuan memorinya dengan memasukkan mencerap sebanyak mungkin informasi atau ilmu pengetahuan apapun ke dalam dirinya.

Tetapi agar gagasan "cybernetic" berjalan dengan baik dalam sebuah organisasi atau instansi pemerintahan, maka sangat perlu setiap individu mengerti tentang kesadaran dan kehendak sosial. Yang dimaksud dengan kesadaran sosial dalam arti ini adalah kemampuan individu untuk mengikuti, mengorganisir, dan melakukan berbagai aturan, keputusan atau konsensus bersama dalam suatu kelompok atau negara. Sedangkan kehendak adalah keputusan internal yang sudah teroganisir secara baik oleh pengalaman atau informasi masa lalu sehingga dalam menghadapi berbagai peristiwa baik yang terjadi di dalam diri maupun di luar bisa diantisipasi dan berusaha untuk mengevaluasinya sembari menemukan kemungkinan-kemungkinan baru/pemaknaan baru (Bab VI).

Hal menarik lainnya dari pemikiran Deutsch ini adalah soal kekuatan memory akan masa lalu dalam membentuk otonomi diri. Dia mengamini bila hidup kita itu hampir berapa puluh persennya ditentukan oleh pengalaman masa lalu kita, seperti yang diyakini oleh dunia ilmu psikologi bahwa adanya kita sekarang ini dibentuk oleh pengalaman masa lalu kita. Bagi Deutsch, ketika kita kehilangan kontak dengan memori atau informasi masa lalu kita, maka di saat itulah kita tidak lagi mampu berhubungan dengan penentuan diri individual atau kelompok sosial. Dalam keadaan itu juga, kehendak atau gairah untuk melakukan sesuatu tidak dapat bekerja secara baik. Tetapi kalau ingatan masa lalu bisa bekerja secara baik, maka dengan mudah orang mendapatkan otonomi diri.

Otonomi diri ini tentu akan berpengaruh besar terhadap pengambilan atau penentuan kebijakan politik dalam suatu organisasi atau negara. Dengan otonomi diri orang bisa secara sadar dan kreatif menentukan sebuah keputusan yang sesuai dengan arah gerak organisasi atau lembaga pemerintah.Ia akan mengenal dirinya bahwa keputusan yang diambil itu tidak merugikan orang banyak dan selalu berdasarkan pada pilihan etis, artinya baik untuk kepentingan orang banyak dan juga untuk diri sendiri. Pendek kata pemikiran Deutsch dalam bukunya ini selalu mengajarkan orang untuk mempraktikkan model politik yang bersantun dalam kata, bermoral dalam pilihan dan berwibawa dalam tindakan. Mungkin dengan melakukan itu semua orang akan menemukan keindahan yang terpancar keluar dari realitas politik.

Dan kalau saja para politikus atau elite negeri ini selalu bersekolah (schole/bahasa latin = menyediakan waktu luang) untuk mengaktualisasikan the art and science of government dengan membaca buku ini, sembari meng-upgrade pengetahuannya, ia tidak akan dipandang sebagai politikus banal. Ia akan menjadi lebih mengenal dan mengetahui apa artinya menjadi warga negara, ia akan mengenal tata kelola pemerintahan yang baik dalam suatu negara.
[+baca-]

Monday, September 3, 2007

Dari Rimba dengan Empati

Oleh Muhidin M Dahlan

Judul: Sokola Rimba, Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba
Penulis: Butet Manurung
Penerbit: Insist Press, 2007
Tebal: ix + 250 (termasuk indeks)


“Belanguunn, ibuk gurua tiba!! Mumpamono kabaron kawana gaek lapay?” (Astagaa... ibu guru datang!! Bagaimana kabarmu, hai gadis lapuk?)

Dia datang dari jauh seperti pertapa. Serupa bijak bestari muda. Dari rimba, dia sodorkan sebuntal inspirasi dan juga harapan. Dia datang tanpa muntahan kata-kata dalam perdebatan sebagaimana riuhnya genderang perang tiap tahun antara pemerintah dan orangtua murid yang anak-anaknya tak lulus Ujian Nasional. Atau para aktivis pendidikan yang menggertak pemerintah di jalanan untuk merealisasi anggaran 20 persen dari APBN untuk pendidikan.


Dia memang seorang aktivis. Tapi jangan bayangkan dia seperti sosok Chico Mendes yang menyusun basis revolusi di pedalaman. Atau seperti Vandana Shiva yang menyusun tesis yang ribet tentang konservasi alam. Mulanya, ketika memasuki rimba Jambi, dia masih memacak niat untuk memodernkan Orang Rimba lewat sebuah LSM yang memanggilnya. Tapi niat itu tertelikung dan runtuh bahwa Orang Rimba harus dikasihani dengan mental pesimis dan tak melihat mereka dalam posisi yang sederajat.

Setelah sekian lama berinteraksi, dia sadar bahwa orang-orang rimba itu hanya butuh sekelumit pengetahuan tentang baca, tulis, dan hitung untuk berinteraksi kepada orang lain di perkotaan agar mereka terhindar dari mangsa penipuan. Mereka tak perlu diceramahi bagaimana menjaga hutan. Mereka tak perlu diajarkan ilmu konservasi yang njlimet hanya untuk memahami kenapa hutan perlu bestari. Yang barangkali perlu adalah bagaimana memasok keunggulan diri Orang Rimba dan membantu menggali potensi kolektif itu serta hak-hak mereka di hadapan hukum kalau ada sengketa lahan.

Saur Marlina Manurung atau akrab panggil Butet adalah nama pertapa muda yang progresif itu. Mengantongi dua ijazah, Antropologi dan Bahasa, perempuan yang menghabiskan waktu kecilnya di Leuven, Belgia, ini memasuki rimba seorang diri dengan segenap keraguan. Langkah ragu Butet itu mengingatkan saya pada perjalanan yang sama yang dilakukan penyair dan pemenang nobel sastra 1971 asal Chile, Pablo Neruda, ketika memasuki jantung kesunyian Pegunungan Andes.

Dengan puitis, Neruda menggambarkan perjalanannya di antara bianglala rimba itu sembari membisikan sebaris mantera: “dengan kesabaran membara kita akan taklukkan kota agung yang bakal memberi cahya, keadilan, dan martabat bagi segenap umat manusia.”

Dengan lirih dan sederhana, Butet juga menuliskan “penyusupannya” di antara celah dedaunan belantara, akar bahar raksasa, selapisan tanah yang mengendap selama berabad-abad, dan pohon jangkung sialang (madu) yang disucikan. Lalu didapatkannya dirinya menggigil ketakutan di tengah dangau sendirian seperti tercampak di sebuah dunia yang gaib, rahasia, dan sekaligus menjadi ruang sengketa terbuka.

Catatan harian Butet yang berjudul Sokola Rimba ini bukan hanya catatan tentang etnografi rimba dan upaya dia mendirikan Sokola (baca: sekolah), tapi juga kitab kearifan hidup berdampingan dengan manusia-manusia di dalamnya. Buku ini adalah kunci dan Butet adalah patok dari semua proses itu. Boleh jadi sudah banyak yang melakukan serupa sebelum Butet. Tapi kehadiran Butet adalah momentum untuk melihat bagaimana pemberdayaan itu diukur.

Butet memulai segalanya dengan sangat perlahan. Awalnya Butet digeret oleh sebuah tenaga donor dengan pelbagai target. Laporan-laporan dan foto-foto kegiatannya adalah nyawa bagi mengalirnya dana dari pemberi donor. Dia tersiksa. Nuraninya berontak. Lalu dia memilih jalan sendiri.

Tapi jangan membayangkan Sokola Rimba butet adalah sepetak bangunan tembok dan beratap seng bantuan Inpres selazimnya. Sokola itu hanya dangau kecil tak berdinding agar jika tak dibutuhkan lagi bisa segera ditinggalkan. Ini adalah sekolah nomaden di mana sekolah-nya yang mendatangi murid dan bukan sebaliknya. Maka jika ditanya, di manakah alamat Sokola Rimba itu, maka Butet menjawab enteng: pada koordinat 01' 05' LS - 102' 30' BT. Pasalnya sentra Sokola itu tak pasti desa maupun kecamatannya.

Di sokola itulah Butet membagikan buku tulis bergaris, pensil, dan pena secukup yang dia punyai. Yang tidak kebagian disilahkan mengambil ranting dan menggarisi tanah. Saat tiba waktunya menggambar, seorang murid menangkap seekor kijang kecil. Binatang lucu itu ditidurkan di atas kertas dan mulailah sang murid menggambar ruas-ruas tubuh kijang tersebut.

Luas kawasan yang disisir Butet meliputi rimba Bukit Dua Belas dan Bukit Tiga Puluh. Dia sadar bahwa tenaganya tak sanggup merengkuh itu. Dia juga tak mungkin memanggil orang kota yang pasti akan menyulitkannya. Maka dibuatnya sistem melatih anak-anak yang sudah mahir untuk menjadi guru. Butet mengistilahkan tim kecilnya ini sebagai: kader-guru. Dengan 14 orang kader-guru angkatan pertama Sokola Rimba inilah Butet terus merangsek ke jantung rimba.

Sedapat mungkin materi pelajaran yang diajarkannya langsung bisa dirasakan manfaatnya. Bagi Butet, sekolah harus berkontribusi langsung bagi kehidupan dan mampu membuat Orang Rimba menyadari siapa dirinya, posisinya, dan memberitahu akan seperti apa dia kelak.

Persoalan besar yang dihadapi Orang Rimba, sebagaimana diinventarisasi Butet dengan lirih dan kerap meledak-ledak, adalah bahwa hutan yang kian sempit, sementara mereka sudah berada dalam kepungan pasar.

Pemerintah mengklaim bahwa Taman Nasional atau hutan yang dilindungi sudah banyak di Jambi, seperti TN Berbak, TN Kerinci Seblat, TN Bukit Tiga Puluh, dan TN Bukit Dua Belas. Namun tak pernah diberitahu masih berapa sisa tegakkan pohon yang garis tengahnya lebih dari satu meter seusai digebuk habis-habisan ribuan bulduzer perkebunan, sementara debit air menurun dan banyak tanaman obat-obatan tradisional yang raib.

Pada posisi yang memakzulkan Orang Rimba itu, Orang Terang datang menawarkan pilihan yang memaksa: keluar hutan dengan agama baru (Islam atau Kristen) dan hidup dengan hasil kelapa sawit. Padahal untuk memilih, mereka mesti dibebaskan membandingkan.

Dan kebebasan itu tak pernah mereka dapatkan lantaran stereotip yang menangkar dalam masyarakat, dan bahkan di kepala rekan-rekan Butet yang aktivis. Bahwa Orang Rimba tak maknyus mengenal teknologi termutakhir seperti email, motor, celana jeans, bahkan kalau perlu mereka memakai cawat terus supaya terlihat eksotis, alami, dan sebagainya yang khas pikiran para pelancong. Dengan stereotip itu sebetulnya kita telah menutup pintu kebebasan mereka untuk memilih yang mereka sukai, apakah memakai baju tradisional atau jeans. Bukankah kita tak berhak mengatakan mana yang lebih baik untuk mereka?

Untuk menanamkan kebebasan memilih itulah, Butet tetap bertahan. Mulanya dia sendiri habis-habisan menjaga asa agar tak meredup di jantung gelap rimba. Mengajarkan membaca, menulis, berhitung, menggambar, dan memberitahu hak-hak mereka adalah dasar ilmu buat kelak mereka memilih dan menentukan nasibnya sendiri. Beberapa orang memang turut bergabung dari usaha pendidikan Orang Rimba ini dan mendirikan lembaga bernama SOKOLA, namun Butet tetaplah magnet dan patok dari semua jerih kecil tapi dikerjakan dengan penuh sadar itu.

Butet adalah nurani pendidikan yang sudah sangsai dan boyak oleh cakar kapitalisme. Yang disodorkannya tiada lain adalah empati. Dengan berempati, orang-orang rimba itu merasa dihargai dan diperhatikan dengan tulus. Sebab pengalaman juga yang membisiki bahwa Orang Rimba sudah terlampau paranoia dengan setiap keasingan yang menyusup di antara dedauanan belantara kekuasaan mereka. Hanya dengan bibit empati yang disebar Butet dan kesabaran membara, sekat itu koyak dan ketulusan itu bersambut.
[+baca-]

Tuesday, August 7, 2007

Kedai Pascakolonial Okri

Oleh Muhidin M Dahlan

Judul: The Famished Road
Penulis: Ben Okri
Penerjemah: Salahuddien Gz
Penerbit: Serambi, Jakarta, Juni 2007
Tebal: 846 halaman


Ben Okri membuka hulu novel The Famished Road dengan metafor sungai. Saya tak tahu apa yang ada di kepala Okri ketika menisbahkan sungai sebagai pembuka dari kisah panjangnya. Yang saya tahu bahwa sungai menjadi kawasan lahirnya peradaban-peradaban besar. Sungai Gangga melahirkan peradaban India (Maha Bharat). Sungai Nil melahirkan imperium Mesir di Afrika. Sungai Eufrat dan Tigris yang melahirkan peradaban Mesopotamia di jazirah Arab.

Betul bahwa sungai adalah jaminan kehidupan. Tapi sungai juga menyimpan enigma, labirin, larat teka-teki, duka-cita, dan berlapis-lapis misteri yang kadang tak sanggup dilerai oleh ikhtiar manusia. Di kelokan sungai itulah Okri melepas Azaro, seorang bocah ingusan yang coba menyabung takdirnya sebagai seorang abiku (anak-roh) di dua alam yang saling menarik secara tegas. Suara dan/atau ikhtiar Azaro tentang labirin dari sebuah jalan rupanya menjadi semangat yang ingin disusur novel ini.

Di halaman-halaman awal, Okri dengan cergas meletakkan beberapa ranjau pertanyaan yang menjadi teka-teki hingga hilir sungai penceritaan yang oleh karena itu ia terkesan sebagai pencerita yang lamban dan tak menggebu-gebu. Okri memang dikenal sebagai pencerita gaya baru Afrika. Rasional sekaligus magis. Visioner sekaligus tunak. Ia mahir menggambarkan seluk-beluk dunia batin Afrika. Kemahiran yang sama juga terasa tatkala ia menerangkan pergolakan politik yang berkecamuk.

Seperti halnya dalam permainan jumaji, Okri langsung menyeret kita ke alam gaib di rimba rohani Nigeria di mana latar kisah ini berlangsung. Di hutan itu kita akan segera bertemu dengan barisan rapat pohon-pohon iroko, baubalo, obeche serta burung dengan bulu kaki serupa rambut manusia, antelop berwajah biarawati, laki-laki tua di sarang semut, macan bersayap perak bergigi banteng, anjing-anjing berekor ular bercakar perunggu, kucing-kucing berkaki wanita, orang-orang cebol yang kepalanya penuh tonjolan, pohon yang berdiri mirip ekor banteng tak bertanduk, dan naga bertubuh gajah berwajah seekor warthog yang memakan manusia dan jiwa-jiwa yang tersesat.

Namun Okri tak mesti terlihat heroik memperlihatkan pertentangan ras yang keras dan pergesekan yang panas antara tradisi dan modernitas di benua Afrika. Okri lebih halus dalam mengurai konfrontasi antara dunia mistis (Afrika/Terjajah) dengan dunia potensial (Eropa/Penjajah) dengan intuisi seorang pencerita yang lihai dan sabar.

Dengan fasih Okri mengisahkan dunia mistis dalam tradisi Yakuba, namun tak jatuh sinis pada dunia potensial (kemodernan) yang disodorkan oleh tradisi Eropa, khususnya Britania Raya. Maka setelah para dukun yang dikoordinatori Mak Koto membebaskan Azaro dari roh-roh yang berdiam di rumah polisi yang mewah yang di dindingnya menggantung salib, Okri memindahkan latar dan konteks penceritaan di sebuah kedai tuak dan rumah Azaro yang reyot.

Okri yang kuat dan tunak dalam detail tak mesti menceritakan revolusi Biafra yang gigantik yang mengelilingi kehidupan keluarga Azaro yang melarat. Okri cukup menaruh Azaro di kedai tuak Mak Koto. Sebab di kedai kecil inilah panggung pascakolonial sesungguhnya yang kemudian menjadi pusat penceritaan.

***



Ibarat pipa, kedai tuak Mak Koto menjadi penghubung kehidupan rimba yang dihuni roh masa silam Azaro dengan dunia luar yang hiruk-pikuk, nilai-nilai modernitas yang berdesakan masuk, serta politik busuk yang memaksakan pengaruh.

Kedai ini merupakan pembayangan Okri atas Nigeria pascakolonial. Di sini lalar-lalar hijau mendenging-denging, kadal-kadal berkeliaran, dan muntahan tuak mengotori sebuntel kalender Coca Cola yang tergeletak di lantai dan tumpahan sup lada yang membasuh payudara perempuan berkulit putih yang membetot penuh dalam kain terbatas. (hlm. 383)

Walaupun kotor dan jorok, kedai tuak ini tetaplah alamat yang laris bagi siapa saja yang ingin merayakan hidup. Ia menjanjikan kesenangan dan sekaligus memperlihatkan situasi kekacauan pasca perang sipil yang membabar Nigeria. Pengunjungnya berasal dari pelbagai lapis masyarakat; mulai dari para pengusaha modern, kontraktor, eksportir, politikus berpakaian kaftan cerah, agbada, dan stelan safari, sampai dengan preman-preman, pengemis, dan pengkhianat partai. (hlm. 375)

Di kedai ini pula Okri leluasa melontar cemoohan pada kondisi politik Nigeria yang nekrofilik, agresif, rasialis di mana masyarakatnya dicabik-cabik kelaparan. Di sinilah Okri dengan muram berkata tentang apa arti lapar dan tuak bagi Afrika. (hlm. 67)

Tak cukup hanya soal politik nekrofilia, kedai ini juga menjadi tempat roh-roh bermata juling dan bengkak, berbibir besar dan lebam bermabuk-mabukan. Bersama roh albino dan roh berkepala tiga—dan bahkan roh berkepala empat—merancang rapat untuk membekuk Azaro untuk kembali ke asal-mula yang ditinggalkannya begitu saja demi cintanya kepada kemajuan dunia. Dan Azaro selalu menjadikan Mak Koto sebagai pelindung dan kedai sebagai pertahanan terakhir dari kejaran roh-roh itu.

Kehadiran sosok Mak Koto di sini tampaknya dimaksudkan Okri sebagai pawang tradisi. Dia adalah pagar, batas, dan rasionalisasi, sekaligus jembatan bagi Azaro untuk melihat dengan jernih bagaimana mesti berjalan ke depan dalam posisi menghadap ke rimba roh. Saya kira Mak Koto adalah The Last Mohican yang dipasang Okri sebagai “nurani” Nigeria yang menjaga tradisi dan masa silam (sebagai dukun), permisif secara sosial (mucikari), mesin politik (juru kampanye partai orang kaya), avant garde kemajuan ekonomi-teknologi (kedainya satu-satunya berlistrik dan orang pertama punya mobil kodok), serta pintu penghubung bagi bangsa-bangsa Eropa (bersekutu dengan para penginjil berkulit-berbaju putih).

Jika Mak Koto adalah representasi dari harmoni sosial-kultur dan pusat mesin politik, maka Bapak Azaro dipinjam Okri sebagai penutur secara terbuka bagaimana Nigeria berada dalam tekanan orang-orang dari ras putih. Kaum putih, misalnya, digambarkan tak ubahnya si raksasa jalanan yang kakinya melebihi pohon kelapa, kepalanya jauh lebih besar dari batu karang, perutnya seluas danau yang kalau kencing sumur jorok akan tercipta. Dan Sang Raksasa Jalanan itu susah matinya karena ia diasupi oleh semangat kapitalisme yang digawangi diktator-diktator lokal.

Bapak Azaro adalah arketip fisikal dari Afrika yang berwatak keras, pekerja yang gigih, tapi hidupnya tetap melarat. Ia memang menjadi petarung hebat dan mengalahkan dua petarung kampung yang paling digdaya dan sekaligus menumbangkan seorang lelaki tangguh mandraguna berbaju putih. Setelah mendapatkan secuil tenar, ia coba menaikkan mimpi menjadi kepala negara. Dibelinya buku-buku politik dari uang hasil taruhan berkelahi yang dibacakan oleh Azaro. Dengan pengetahuan pas-pasan itu dibikinnya partai tandingan dengan hasil yang sangat menyedihkan: cuma beroleh anggota 7 orang pengemis kudisan.

Sadar tak punya kuasa melawan politik-modal para tuan tanah, ia pun rebah dan hanya bisa mengais-ngais impian andaikan ia terlahir sebagai manusia kulit putih (hlm 734). Namun ia tetaplah lelaki Afrika yang mungkin saja bisa menjelajahi seluruh planet ini, tapi toh tak mampu bergerak satu inci pun.

***



Tak seperti Chinua Achebe dalam Things Fall Apart atau JM Coetzee dalam The Waiting for the Barbarians yang lantang mengutuk kebiadaban ras putih, Okri lebih memilih jalan moderat. Bukan berarti bahwa Okri tak tahu bahwa sudah ratusan tahun lamanya rezim kolonial mendistorsi sejarah Afrika sebagai sejarah yang diisi masyarakat barbar, primitif, dan animis. Dalam bahasa intelektual pascakolonial asal Aljazair, Frantz Fanon, kolonialisme tak puas sekadar mencengkeram buhul kepala penduduk yang dikoloninya dan mengisap tandas sari hidupnya.

Nah, menampilkan dunia animis sebagai pusat cerita dan sekaligus pembayangan masa depan menjadi strategi literer Okri untuk melumpuhkan cara pandang yang distorsif. Menyodorkan dunia roh Azaro di jantung literasi kolonial (Britania) adalah usaha membalikkan kesadaran kolonial menjadi sebuah studi pascakolonial yang memang kritis terhadap semua stigmatisasi yang meremehkan sejarah dunia ketiga, sebagaimana manusia Indonesia pernah dilabeli Eropa (Belanda) sebagai bangsa monyet dari kumpulannya terbuang.

Tiada cara lain yang bisa dilakukan Okri untuk merenggang ketegangan ras yang dijejali stereotip itu kecuali berucap: “Satu-satunya jalan keluar (orang kulit putih) dari Afrika adalah menjadi orang Afrika.” (hlm 813)

Maka keluarnya novel ini sebagai pemenang Booker Prize pada 1991 bisa dibaca sebagai jalan “orang kulit putih menjadi Afrika” sebagaimana dimaklumatkan Okri. Di luar dari itu, novel ini kiranya bisa ditera sebagai documentary meaning yang dirumuskan Karl Mannheim. Yakni, dokumen sosial politik (dunia potensial) dan ensiklopedi dunia roh (dunia mistis).

Cuma yang agak mengganggu dan menghantui saya adalah gambar Azaro di sampul novel ini. Kok lama-lama saya perhatikan kayak Pak Harto ya....
[+baca-]