Sunday, March 23, 2008

Penerbit Jogja Membela Diri

Oleh Muhidin M Dahlan

Judul: Declare, Kamar Penerbit Jogja (1998-2007)
Penulis: Adhe
Penerbit: Komunitas Penerbit Jogja
Terbit: 2007
Tebal: xxxvi+341 halaman


Resensi di majalah Tempo pada bulan awal 2001 yang ditulis Nirwan Dewanto tentang terjemahan Milan Kundera oleh Penerbit Akubaca itu memang menusuk kalbu. Jika ada yang bilang bahwa resensi itu tak mengguncangkan, itu dusta besar. Sebab resensi yang menuding penerbit Jogja sebagai penerbit yang tak becus menggarap buku cukup bikin gerah.

Beberapa pentolan penerbit Jogja, termasuk Adhe (penulis buku ini), Anas Syahrul Alimi, Buldanul Khuri dan yang lain-lain nggerundel dan berencana membikin forum mengadili karya-karya terjemahan intelek-intelek Jakarta, termasuk terjemahan Nirwan Dewanto, kalau terjemahannya ada. Ada juga rencana menggelar pengadilan buku dengan tema: “Jogja Membela Diri”.

Forum itu setahu saya tak pernah ada. Bahkan setelah satu per satu muka berminyak para aktivis perbukuan itu menggesek tanah setelah panggung yang mereka ciptakan dengan gagah dan penuh kenekatan itu rubuh. Barangkali sisa dari gerundelan itu adalah buku ini.

Ini bukan buku yang dibuat oleh seorang ilmiawan dengan ditulis bergaya penelitian yang dingin, objektif, dan berjarak dari sumber serta suasana. Ini juga bukan tulisan seorang etnografis, yang walaupun menyentuh, tapi tetap saja tak ikut serta dalam deru buku Jogja 1998-2004. Ini lebih tepat disebut pleidoi dari aktivis perbukuan di Jogja setelah terus dirundung dakwaan yang bertubi-tubi dari pelbagai penjuru kota, terutama sekali dari Jakarta. Sebab penulisnya sendiri adalah pesakitan utama.



TAK ada fase yang mengharu biru dari Jogja selepas Presiden Soeharto jatuh ditimpuki demonstrasi mahasiswa selain perayaan penerbitan buku. Adhe menceritakan dengan segamblang-gamblangnya bagaimana sebuah penerbitan lahir dari sebuah warung remang-remang dan beroperasi di gang-gang sempit dan bahkan dalam sebuah kamar pengap sewaan yang tak urung sewanya pun masih dinegosiasi waktu dan ongkosnya.

Semua orang di luar Jogja kerap di kepalanya terbangun asumsi bahwa menerbitkan buku harus kondisinya seperti Gramedia, Yayasan Obor Indonesia, dan sederet penerbit-penerbit tua dan mapan dengan gedung-gedung yang mentereng dan asupan modal ratusan juta rupiah. Di Jogja, mereka sungguh kaget dan nyaris tak percaya bahwa buku-buku yang mereka baca selama ini diproduksi oleh penerbit yang terletak di ujung gang dan kerap dihadang plang: “Turun dari Motor Mas, Kalo nggak Benjut”.

Penerbit Jogja yang lahir pada 1998 dan mencapai puncak kegemilangannya antara tahun 2000-2002 adalah riwayat dari gabungan sikap idealis, keras kepala, nekat, dan sekaligus ngawur. Mereka tak terlalu repot dengan pertanggungjawaban modal, pengawasan produk yang berlapis dan berular-ular. Mereka juga tak dipusingkan dengan soal hak cipta yang kerap disoal dan dibesar-besarkan.

Semuanya bergerak cepat dan sigap. Naskah dikerjakan secepat-cepatnya dan dikoreksi sesigap-sigapnya. Persoalan terlalu banyak kesalahan, itu soal lain. Ada perlombaan di antara penerbit untuk menerbitkan buku. Kalau misalnya muncul fenomena buku sampai berganda empat (kasus Tan Malaka), bahkan sampai berganda sepuluh (kasus Khalil Gibran), itu adalah bagian dari risiko di sirkuit buku paling ajaib di Indonesia.

Tapi, semua hiruk-pikuk itu hanya di Jogja. Dan nyaris semua kepala nengok ke Jogja ketika bermunculan “buku-buku aneh”. Kalau kritik berjubel-jubel kemudian dialamatkan ke kota ini, itu tak terlalu mengagetkan. Penerbit di kota ini dikritik, tapi buku-buku cendekia dari kota semisal Jakarta mengalir terus ke kota ini. Bisa dideret sebabnya. Boleh jadi karena tak perlu menunggu antrian lama sebagaimana prosedur menerbitkan buku di penerbit-penerbit mapan yang minta ampun ribet dan lamanya. Di Jogja, sekali buku disetujui untuk diterbitkan, pekan depan penulisnya sudah bisa menyunggingkan senyum melihat bukunya sudah nangkring di rak toko buku. Soal laku atau tidak, itu soal yang lain lagi.

Dari seluruh kenekatan dan mungkin sikap banal dan keras kepala itu maka boleh dibilang Jogja telah mematahkan mitos bahwa menerbitkan buku itu sulit dan rumit. Manusia-manusia yang ingin menjadi cendekia tapi levelnya di kelas sangat bawah sangat terbantu dengan kondisi sirkus buku seperti yang terjadi di kota ini. Bahwa menulis buku semata milik kelas penulis elite berhasil diruntuhkan seketika oleh ulah grasah-grusuh penerbit di Jogja ini. Naskah apa pun bisa dan layak diterbitkan. Sirkus ini melahirkan juga gaya bikin buku dengan jurus “ATM” (amati, teliti, modifikasi) atau “Spanyol” (separuh nyolong).

Tapi ada juga ongkos dari semua ini. Karena dikerjakan oleh anak-anak muda yang terjun ke dunia buku dengan separuh nekat, maka jangan tuntut mereka untuk disiplin. Disiplin dalam hal apa saja. Jika royalti penulis terus dikemplang, jangan terlalu cerewet. Jika hak cipta buku terjemahan tak pernah diurus, jangan salah sangka sebab kalau sibuk ngurusi hak cipta itu ntar gimana kalau disalip penerbit lain yang lebih nekat dan cepat. Kalau gaji karyawan dibayar murah, jangan heran. Jika utang menggunung di percetakan atau distributor, jangan sakit kepala. Jika kepala-kepala penerbit yang rata-rata berusia belia ini susah dihubungi, jangan memaki karena mereka tengah dikejar para penagih dari sembilan penjuru mata angin.

Dan jika mereka pada akhirnya jatuh, mari tegakkan keyakinan bahwa itu hanya sesaat saja. Mereka punya sembilan nyawa dan naluri perbukuan untuk bangkit. Penulis buku ini memang jatuh bangkrut bersama penerbitnya, tapi ia tetap tegak dan kembali ke kemampuan asalinya sebagai penulis. Karena memang Adhe terjun ke penerbitan bukan karena ia telah mengantongi ilmu manajemen yang mbegawani dan matang. Hanya ia suka saja menulis dan membaca buku.

Di Jogja, itu hal biasa. Sebagaimana mesti juga diketahui, bahwa menerbitkan buku adalah separuh dari judi. Pemilik Penerbit Pustaka Pelajar, Cak Ud, pernah mengatakan kepada saya beberapa bulan sebelum para aktivis perbukuan Jogja periode 1998 itu tersungkur, bahwa semua hiruk-pikuk itu tak lama akan berakhir. Sebab mereka (para pekerja buku yang penuh semangat itu) tak sedang menaiki tanjakan 30 derajat. Mereka para pendaki gunung 90 derajat yang bersemangat dan berjudi dengan nasib. Mungkin hari ini mereka bisa menikmati kemewahan seperti menaiki mobil BMW atau berumah mewah, tapi lihatlah sebentar lagi. Mereka semua akan terjatuh karena dakian yang mereka pilih terlalu curam dan berisiko sangat tinggi di mana pakar manajemen yang sudah berpengalaman puluhan tahun mengamati usaha-usaha pemasaran produk yang dilakukan manusia pun bisa geleng-geleng kepala.

Soalnya tiada lain gaya hidup yang luar biasa mewah dan sekaligus boros tak seimbang dengan risiko bagaimana manajemen pemasaran buku itu dibuat. Bahkan ada salah satu aktivis perbukuan di Jogja yang turut jatuh bersama berseloroh, sistem pembelian dengan Bilyet Giro (BG) itu nggak ada bedanya dengan membeli buku dengan uang palsu. Uangnya memang langsung dinikmati dan risiko akan datang kemudian hari ketika buku-buku itu dikembalikan ke penerbit lantaran tak laku. Dan jatuh bebas itu terletak di sini.

Tapi sudahlah. Semuanya sudah patah dan jatuh. Kendali atau kiblat perbukuan sudah kembali ke Jakarta. Dan buku ini cukup sebagai rangkaian dari memori banding dari dakwaan yang menghujam selama ini. Adhe sudah menulis pleidoi ini dengan baik. Apa pun kata orang, pembelaan ini penting agar orang juga tahu apa yang terjadi di dalam kamar-kamar kos penerbitan Jogja itu. Sebagai sesama aktivis buku yang tidur, makan, dan berak di kamar-kamar penerbit buku Jogja itu, saya ucapkan terima kasih kepada Adhe.

1 comment:

nad said...

tapi,, sekarang harga kertas tambah mahal...