Wednesday, September 26, 2007

Estetika Politik

Oleh Bastian Sambi Borges

Judul: The Nerves of Government: Models of Political Communication and Control
Penulis: Karl W. Deutsch
Penerbit: The Free Press – New York – 1966
Tebal: vii – 316 + Index


Masyarakat Indonesia di hari-hari ini sedang tidak bergairah dengan omongan tentang politik. Ketidakgairahan itu tampak dalam ungkapan yang kerap kita dengar: “Ah..jangan berbicara tentang politik melulu bila tidak ada keadilan, tidak ada kejujuran, tidak ada kesejahteraan masyarakat, dan tidak ada rasa perikemanusiaan...” De facto memang masyarakat tidak menutup mata dengan prilaku para elite negeri yang lebih suka bermain dengan api retorika politik dalam bentuknya yang banal: dangkal murah, dan kosong ketimbang yang lebih substansial: produk politik yang berdimensi pedagogis dan aplikatif (terjadinya suatu tatanan hidup yang damai, sejahtera dan berperikemanusiaan dalam masyarakat).

Sekalipun setiap warga negeri menutup matanya dengan selebaran kain tebal tanpa pori-pori udara, tetap saja terlihat secara jelas lekak-lekuk prilaku retorika politik yang banal itu. Lihat saja penampilan produk politik kepartaian (koalisi, politik pilkada, perebutan posisi-posisi dalam birokrasi), misalnya, lebih mengesankan sebuah hasil transaksi bisnis elite partai ketimbang upaya pendidikan politik bermutu untuk rakyat. Dalam arti itu politik masih dilihat sebagai peralatan kekuasaan demi kegunaan jangka pendek dan bukan sebagai pelembagaan nilai-nilai demokrasi untuk proyek peradaban jangka panjang. Maka tidak heran bila masyarakat awam selalu menganggap aktivitas poltik tak ubahnya sebuah kubangan lumpur yang mengotori siapapun.

Bagi para musafir politik sejati, fakta seperti ini cukup mengejutkan atau paling tidak megerutkan dahi. Karena antara ranah ortodoksi ajaran dan ranah ortopraksis dari wacana politik tak pernah bertaut hati secara akrab membentuk suatu habitus yang beradab. Perasaan menyesal, kecewa dan menjengkelkan, wajar saja dimunculkan dan memang harus merasakan itu supaya membuka mata, hati dan budi untuk secara cerdas mencermati dan mengkritisi arus pergerakan politik Indonesia.

Tetapi lebih dari itu kita harus berani mengajukan gugatan atas prilaku politik para elite kita. Mengapa para elite negeri ini doyan dengan permainan politik yang murahan itu? Apakah ini merupakan suatu indikasi kuat bahwa lembaga pendidikan kita terutama lembaga-lembaga yang memformat para calon politikus tidak bisa mencetak politikus atau anak negeri yang diharapkan masyarakat: bermoral, jujur, intelektualis dan mampu menciptakan suasana politik yang berperikemanusiaan. Ataukah mungkin bukan lembaganya yang dipermasalahkan, tetapi para pelakunya yang perlu dipertanyakan.

Lembaga pendidikan pada dirinya tidak mungkin kontraproduktif dengan eksistensinya sendiri: mencerdaskan manusia atau memanusiakan manusia. Singkat kata, dalam hal ini kita ada baiknya mengikuti anjuran sang guru absurd, Nietszche bahwa kita harus menebarkan “hermeneutika kecurigaan” atas sesuatu hal, terutama atas ketidakberesan hidup. Kita harus mencurigai prilaku politik, supaya setiap warga negara sadar dan tahu bahwa realitas politik adalah tidak identik dengan perbuatan curang, penipuan, atau saling sikut-menyikut.

Sejatinya aktivitas politik merupakan media publiK yang bisa dimasukkan oleh siapapun yang berkendak baik untuk menciptakan tatanan sosial yang adil, sejahtera, aman, tentram, jujur dan bebas. Kesejatiannya ini mengingatkan setiap warga akan makna asli kata politik itu sendiri yang berasal dari bahasa Yunani polis (kota yang berstatus negara kota (city state) bahwa segala aktivitas yang dijalankan polis adalah untuk kelestarian dan perkembangan orang-orang yang hidup di suatu kota (politike techne). Dengan kata lain politik pada hakikatnya merupakan the art and science of government.

Karl W. Deutsch, lewat bukunya ini tidak lain mau mengartikulasikan nilai keindahan atau estetika dari sebuah politik semesta. Politik menurutnya adalah seni pengambilan keputusan lewat sarana umum. Sarana umum bisa bermacam-macam, tetapi yang dipilihnya dalam mengembangkan diskursus politiknya ini adalah ilmu komunikasi.

Menggunakan pendekatan ilmu komunikasi bukan bermaksud untuk meramaikan bursa ide-ide politik yang bisa dipakai sebagai acuan, tetapi lebih merupakan suatu cara memberikan arah baru dalam berpolitik. Artinya politik harus diberi pijakan ide-ide segar, up to date, relevan dan kontekstual dengan situasi zamannya. Dan menurutnya salah satu hal yang berpengaruh besar terhadap perkembangan politik sekarang ini adalah pengaruh alat telekomunikasi. Sejak gelombang revolusi agraria muncul di Inggris abad ke-14-15, cara kita berkomunikasi dengan orang lain dan juga cara kita memandang sesuatu hal sangat berbeda dari sebelumnya. Pendek kata, revolusi Inggris telah memaksa manusia untuk meredefenisi dan meredesign segala sesuatu termasuk hidupnya sendiri.

Bagaimana pun juga kemajuan dunia ilmu pengetahuan yang tereksplisifikasikan dalam alat-alat teknogi komunikasi kemajuannya di hari-hari ini melampaui kesiapan manusia untuk menerimanya. Karenanya manusia tidak bisa menafikan atau menghindar diri dari gempuran alat teknolgi komunikasi tersebut. Kita harus selalu melihat bahwa ini adalah sebuah kesempatan yang bisa membantu kita untuk hidup lebih manusiawi dan lebih beradab.

Berkaitan dengan itu sebagai titik berangkat dari pemahaman tentang politik masa kini, DEutsch mengembangkan gagasan teori komunikasi yang pernah dicuatkan oleh seorang pemikir politik, Norbert Wiener, yaitu gagasan “Sibernetik”.

“Cybernetics” adalah sebuah konsep pemerintahan atau organisasi sosial yang responsif /cepat tanggap terhadap gejala sosial yang terjadi di masyarakat dan dapat memperhatikan kebutuhan individu maupun masyarakat luas. Sebagai studi sistematik atas komunikasi dan kontrol dalam seluruh organisasi, “Cybernetics” merupakan skema konseptual yang berjangkauan luas dan bisa merubah sesuatu, seperti perubahan perhatian kepentingan dari kampanye massal menuju pengaturan organisasi yang tertata rapi, dari pengambilan keputusan yang didasarkan atas daya emosional/instink menuju sistem keputusan, regulasi, dan kontrol keputusan yang transparan dan legitim.

Pandangan fundamental konsep sibernetik dan relevansinya terhadap ilmu sosial dapat dilihat pada komentar Norbert Wiener berikut ini:

Eksistensi ilmu-ilmu sosial selalu didasarkan atas kemampuan untuk memperlakukan kelompok sosial sebagai sebuah organisasi bukan sebagai onggokan/gundukan benda/barang. Dan komunikasi adalah semen perekat dari semua organisasi,… dst.

Dengan kata lain, gagasan sibernetik mau mengafirmasikan bahwa semua organisasi pada tingkat karakter fundamental tertentu adalah sama, yakni semuanya berujung pada efektivitas komunikasi. Hanya dengan komunikasilah orang mampu menyampaikan buah pikiran yang tergumpal dalam bentuk pesan dan pesan itu akan membingkai organisasi. Akhirnya sibernetik menekankan bahwa pemerintah dan sistem kemudinya (steering system) adalah salah satu proses yang paling menarik dan significant dalam membentuk wacana politik mutakhir. Karena tujuan utama dari gagasan “Cybernetic” tidak lain mau memberikan pengaruh atau asupan baru bagi kekuatan pikiran manusia secara intelektual dan emosional dan juga kekuatan kolaborasi antara pikiran dengan prilaku organisasi baik itu organisasi diri maupun organisasi pemerintahan. Atau dalam bahasa Karl Jasper disebut sebagai “The Encompassing” (pengaruh).

Penambahan kekuatan pikiran/intelektual ini terjadi pada tiga level utama. Pertama, pada level rasio manipulatif (verstand), yaitu penggunaan perangkat intelektual secara efektif mungkin (proses pemikiran pragmatis: kalkulasi untung-rugi). Kedua, pada level yang sering disebut “wisdom” (kebijaksanaan/bijaksana), yaitu bentuk pemikiran yang ketika menghadapi masalah tidak langsung memutuskan keputusan atau langkah yang harus diambil tetapi butuh waktu untuk menentukan keputusan yang cocok dengan masalah yang sedang dihadapi dan selalu diliputi oleh pertanyaan apakah keputusan itu efektif dan memberikan makna tertentu bagi perkembangan hidup orang banyak dan juga kehidupanku sendiri. Terakhir, adalah level yang bisa dianggap sangat penting sekali karena dapat merubah komunikasi kita, yakni level “perceptive reason”/vernunft (rasio yang cerdas/yang lekas mengerti). Artinya kemampuan pikiran yang bisa secara cepat memahami sesuatu hal. Untuk bisa sampai ke tahap itu orang perlu mengasa kemampuan memorinya dengan memasukkan mencerap sebanyak mungkin informasi atau ilmu pengetahuan apapun ke dalam dirinya.

Tetapi agar gagasan "cybernetic" berjalan dengan baik dalam sebuah organisasi atau instansi pemerintahan, maka sangat perlu setiap individu mengerti tentang kesadaran dan kehendak sosial. Yang dimaksud dengan kesadaran sosial dalam arti ini adalah kemampuan individu untuk mengikuti, mengorganisir, dan melakukan berbagai aturan, keputusan atau konsensus bersama dalam suatu kelompok atau negara. Sedangkan kehendak adalah keputusan internal yang sudah teroganisir secara baik oleh pengalaman atau informasi masa lalu sehingga dalam menghadapi berbagai peristiwa baik yang terjadi di dalam diri maupun di luar bisa diantisipasi dan berusaha untuk mengevaluasinya sembari menemukan kemungkinan-kemungkinan baru/pemaknaan baru (Bab VI).

Hal menarik lainnya dari pemikiran Deutsch ini adalah soal kekuatan memory akan masa lalu dalam membentuk otonomi diri. Dia mengamini bila hidup kita itu hampir berapa puluh persennya ditentukan oleh pengalaman masa lalu kita, seperti yang diyakini oleh dunia ilmu psikologi bahwa adanya kita sekarang ini dibentuk oleh pengalaman masa lalu kita. Bagi Deutsch, ketika kita kehilangan kontak dengan memori atau informasi masa lalu kita, maka di saat itulah kita tidak lagi mampu berhubungan dengan penentuan diri individual atau kelompok sosial. Dalam keadaan itu juga, kehendak atau gairah untuk melakukan sesuatu tidak dapat bekerja secara baik. Tetapi kalau ingatan masa lalu bisa bekerja secara baik, maka dengan mudah orang mendapatkan otonomi diri.

Otonomi diri ini tentu akan berpengaruh besar terhadap pengambilan atau penentuan kebijakan politik dalam suatu organisasi atau negara. Dengan otonomi diri orang bisa secara sadar dan kreatif menentukan sebuah keputusan yang sesuai dengan arah gerak organisasi atau lembaga pemerintah.Ia akan mengenal dirinya bahwa keputusan yang diambil itu tidak merugikan orang banyak dan selalu berdasarkan pada pilihan etis, artinya baik untuk kepentingan orang banyak dan juga untuk diri sendiri. Pendek kata pemikiran Deutsch dalam bukunya ini selalu mengajarkan orang untuk mempraktikkan model politik yang bersantun dalam kata, bermoral dalam pilihan dan berwibawa dalam tindakan. Mungkin dengan melakukan itu semua orang akan menemukan keindahan yang terpancar keluar dari realitas politik.

Dan kalau saja para politikus atau elite negeri ini selalu bersekolah (schole/bahasa latin = menyediakan waktu luang) untuk mengaktualisasikan the art and science of government dengan membaca buku ini, sembari meng-upgrade pengetahuannya, ia tidak akan dipandang sebagai politikus banal. Ia akan menjadi lebih mengenal dan mengetahui apa artinya menjadi warga negara, ia akan mengenal tata kelola pemerintahan yang baik dalam suatu negara.

No comments: