Thursday, April 26, 2007

Mencari Hakikat Hidup dalam Petualangan Sehari Semalam

Oleh Anton Kurnia

Judul buku : Ulysses (terbit pertama kali pada 1922)
Pengarang : James Joyce
Tebal buku : 770 halaman (versi Random House)


James Joyce (1882-1941) tak pelak lagi adalah seorang novelis terkemuka dunia, bahkan bisa dibilang ia merupakan salah satu pelopor prosa modern. Pengarang Irlandia ini menghasilkan berbagai karya penting, antara lain Ulysses (1922) yang dinobatkan sebagai novel terbaik yang terbit di abad kedua puluh oleh majalah internasional Time dan Modern Library. Selain itu ia juga menulis Dubliners (1914, sebuah kumpulan cerpen unik tentang para penduduk kota Dublin) dan Portrait of the Artist As A Young Man (1915, sebuah novel autobiografis).

Joyce mengembangkan teknik menulis yang kemudian dikenal sebagai stream-of-consciousness dan mengilhami banyak pengarang dari generasi berikutnya. Pada 1902, saat ia menyelesaikan kuliahnya, Joyce sudah memikirkan dirinya akan merantau dan menjadi seorang penulis. Ia tahu betul bagaimana menulis tentang kehidupan kota Dublin dan sadar bahwa ia harus meninggalkan Irlandia. Menurutnya, hanya dari jauh ia bisa bersikap objektif terhadap kampung halamannya.

Joyce pergi meninggalkan Irlandia untuk selamanya pada 1904. Nora Barnacle, seorang perempuan cerdas penuh gairah hidup, pergi bersamanya. Walaupun Nora tak tertarik pada sastra dan tak pernah membaca karya-karyanya, mereka hidup penuh cinta hingga akhir hayat Joyce. Mereka memiliki dua anak. Sebagian besar hidup keluarga itu dilalui dalam kemiskinan. Ini terutama karena Joyce adalah seorang peminum berat. Namun, ia juga seorang lelaki keras kepala yang bangga pada dirinya—ia yakin bahwa dirinya adalah seorang jenius. Walaupun Joyce mengasingkan diri dari Irlandia, ia selalu menulis tentang Dublin. Dalam cerita-ceritanya, ia menggunakan kota Dublin sebagai model skala kecil bagi dunia seluruhnya.

Joyce mengalami hidup yang sulit. Bertahun-tahun ia memoles karya-karyanya. Bisa dibilang, ia nyaris tak mendapat keuntungan material apa pun dari tulisan-tulisannya hingga saat-saat terakhir hidupnya. Novel adikaryanya yang hingga kini terus dicetak ulang, Ulysses, membutuhkan waktu tujuh tahun untuk diselesaikan. Saat akhirnya diterbitkan, buku itu dicekal oleh lembaga sensor di berbagai negara dan disalahpahami banyak orang.

Petualangan Dua Lelaki

Ulysses merupakan kisah keluyuran Leopold Bloom, seorang Yahudi warga Dublin, dan Stephen Dedalus (tokoh utama novel Joyce lainnya, Portrait of the Artist as A Young Man) yang mengelilingi kota itu pada suatu hari. Perjalanan Bloom dalam novel tebal ini merupakan cerminan pengembaraan Odyssey dalam kisah klasik Yunani karangan pujangga buta Homer.

Joyce menyisipkan solilokui erotik Molly Bloom, istri Leopold, di bagian akhir novel itu dalam teknik stream-of-consciousness yang kemudian menghebohkan khalayak pembaca sastra. Joyce menulis secara terbuka dalam menggambarkan adegan seks, fantasi seksual, dan fungsi-fungsi anggota tubuh, sehingga novel ini sempat berurusan dengan lembaga sensor. Bahkan, penulis terkemuka seperti Virginia Woolf sempat mengecam novel itu. Meskipun sempat dilarang beredar di Irlandia dan Amerika Serikat karena dianggap cabul, kini novel itu diakui secara luas sebagai salah satu karya sastra terpenting yang pernah diterbitkan.

Jika dalam A Portrait of the Artist As A Young Man dikisahkan sisi batin tokoh Stephen Dedalus, sejak ingatan paling awalnya hingga saat ia memutuskan pergi dari rumah, dalam Ulysses dikisahkan satu hari dalam kehidupan Stephen Dedalus, sebuah hari biasa-biasa saja setelah kepulangannya kembali ke Dublin dari pengembaraannya di Paris. Sebagai sebuah hari yang biasa-biasa saja, hari itu menandai kekalahan sang penyair Stephen Dedalus dari ziarahnya di luar negeri. Ia telah menghadapi kenyataan hidup, mengalami banyak hal, dan menyadari kekalahannya.

Novel Joyce ini mengambil kerangka dari epik Odyssey karya Homer hingga ke judul bab dan analogi kisahnya. Narasi Ulysses sebenarnya sederhana. Bagian yang berkaitan dengan kisah Telemachus (anak lelaki Odysseus) menceritakan beberapa jam yang dihabiskan Stephen Dedalus pada pagi hari 16 Juni 1904. Ia mengunjungi sekolah tempatnya mengajar, lalu pergi ke sebuah kantor redaksi koran. Di kantor inilah ia pertama kali melihat Leopold Bloom, seorang pencari iklan yang hari-hari awalnya telah diceritakan. Bloom kita lihat dalam seluruh detail kecil pagi harinya: menyiapkan sarapan istrinya, menghadiri pemakaman, mencoba mencari pemasang iklan, menengok sekilas kehidupan intelektual Dublin, dengan nama samaran Bunga melakukan hubungan cinta dengan gadis-gadis muda, hingga puncak kejadian pertama hari itu di mana ia bertengkar di sebuah tempat umum karena ia bersikeras mengatakan bahwa Yesus adalah seorang Yahudi sehingga membuat banyak orang tersinggung.

Dari sini ia beralih ke puncak kejadian kedua, sebuah peristiwa erotis saat ia mengamati seorang gadis jelita di atas batu cadas dekat Sandymount—sebuah episode yang berkaitan dengan kisah Nausicaa dalam Odyssey. Bloom melihat Stephen untuk kedua kalinya di sebuah rumah sakit. Di malam harinya Stephen dan Bloom kembali berjumpa di sebuah rumah bordil di Dublin. Bloom melindungi Stephen dari serangan seorang tentara yang mabuk, lalu membawa Stephen ke rumahnya hingga fajar menjelang. Setelah Stephen pergi, Bloom tidur, dan lamunan liar istrinya—Molly Bloom—dalam gaya stream-of-consciousness, kenangan tentang para kekasih Molly dan perzinahannya, menutup novel ini. Bloom menjadi Ulysses, istrinya menjadi Penelope (istri Ulysses yang bimbang dalam Odyssey). Dalam hal ini Molly Bloom juga dalah Gea, sang dewi bumi.

Mempertanyakan Hakikat Hidup Manusia

Seperti pernah disinggung oleh penyair W. B. Yeats, dalam Ulysses kita melihat topeng ganda James Joyce sendiri—Bloom dan Stephen—dan pada gilirannya itu sesungguhnya adalah topeng sebuah generasi yang berpaling dari “keputusasaan yang disadari menuju kesia-siaan yang tak disadari.”

Pada akhir novel, Stephen meninggalkan rumah Bloom, untuk menjadi gelandangan selama beberapa jam di malam itu. Kegelandangan ini sesungguhnya adalah kegelandangan Joyce sendiri, dan menohok kita sebagai tragedi yang riang dalam kebebasan dan kesunyian seorang Stephen Dedalus.

Dalam Ulysses kita sama sekali tak menemukan pesimisme yang muram. Tak ada “kejatuhan” dalam kemanusiaan, walaupun sejarah manusia adalah sejarah kekalahan. Dalam buku ini, cinta dan benci terasa sama-sama dilupakan dalam sebuah kenyataan yang menghanyutkan. Melalui kisah keluyuran dua lelaki dalam sehari semalam yang seakan-akan tiada ujung pangkalnya ini, kita dibawa jauh menjelajahi sisi batin kita yang paling dalam, sekaligus diajak mempertanyakan makna hidup manusia yang kerap berujung pada kesia-siaan tanpa makna.

James Joyce membuktikan kepiawaiannya dalam novel ini melalui inovasi-inovasi dalam metode dan pengembangan struktur yang ia gunakan dengan sebuah keterampilan nyaris sempurna. Tak bisa dimungkiri, teknik yang digunakannya memiliki dampak yang besar dan mempengaruhi para penulis generasi berikutnya. Itu pulalah yang membuat Ulysses abadi hingga kini dan dinyatakan sebagai novel terbaik dalam berbagai versi pengumpulan pendapat sejenis di ujung abad kedua puluh.

No comments: