Monday, May 7, 2007

Sejarah Perbudakan (Indonesia) Berawal dari Skandal Buku

Oleh Muhidin M Dahlan

Judul : The Island of Lost Map: A True Story of Cartographic Crime
Penulis : Miles Harvey
Penerbit : Random House (405 halaman)


PENJAJAHAN adalah cerita paling kelam bagi negara-negara Afrika dan Asia. Termasuk Indonesia. Dan sejarah mencatat bahwa Nuswantara dibudaki oleh tiga negara yang datang silih berganti dalam sekian jarak waktu. Sehabis Portugis menyisir pesisir, Nuswantara (tak hanya pesisir, tapi sekaligus pedalamannya) disabet Belanda, lalu paling anyar adalah Jepang.

Tapi sejarah-besar (great history) alpa, bagaimana menjelaskan prosesi peralihan penjajahan yang begitu gigantis, sakit, dan sekaligus kompleks itu, selain karena Portugis kalah perang dengan Belanda.

Nah, salah satu dari 13 bagian buku The Island of Lost Map: A True Story of Cartographic Crime, mengambil alih penjelasan itu. Alih-alih berkecap tentang great history, justru ia memperlihatkan bahwa peralihan perbudakan itu dimulai dari sebuah peristiwa kecil: skandal buku (cartographic crime). Buku yang dimaksud tak lain adalah segulungan peta.

Miles Harvey sebetulnya tak sengaja menemukan kesimpulan itu. Ia tertransformasikan tentang kekuatan sejati sebuah peta dan pembuka lahirnya buku ini justru saat menyeduh kopi di sebuah kafe. Di sana ia menemukan sebuah nama pedagang kembar asal Belanda, Cornelius dan Frederik Houtman, yang kelak kita tahu dua nama ini mengubah peta penjajahan di bumi Nuswantara.

Meskipun bukan pikiran utama, bagi Miles, artikel yang memuat nama itu merupakan "a constant reminder of the extraordinary power of maps."

Memang pada zamannya, peta adalah barometer atau seismograf dinamika ekonomi, politik, dan kultural Eropa. Bahkan, kata Miles Harvey, peta serupa katekismus yang berhadapan langsung dengan kitab suci agama-agama besar. Bedanya, jika kitab suci agama membawa peruntungan transendental, peta sebaliknya membawa berkah pragmatis.

Dan Portugis sadar betul dengan kehebatan peta. Karena itu untuk mengontrol Hindia, Portugis mengontrol sedemikian rupa peta. Tak tanggung-tanggung, Henry dan pengikutnya menjaga rapat rahasia navigasinya itu dengan tangan besi. Penguasaan itu dilakukan tak lain bertujuan untuk menstabilkan dan melindungi monopoli perdagangan.

Beberapa akademisi percaya bahwa Portugis dengan cepat menemukan Australia pada abad ke-16 M berdasarkan keterangan dan kerja keras para perumus dan penulis peta. Seluruh keberadaan kawasan-kawasan perawan diketahui berdasarkan garis peta.

"Tak satu pun kapal asing dibolehkan berlayar ke Hindia," tulis sejarawan George Masselman. "Sanksinya adalah penyitaan kapal dan penguburan awak-awaknya selama-lamanya di dalam galeon."

Di mana pun peta tak boleh beredar. Lebih suci dari kitab suci mana pun. Ketika Pedro Alvares Cabral kembali dari Hindia pada 1501--akhir sebuah perjalanan saat dia menjadi, menurut beberapa sejarawan, orang pertama yang melihat Brasil--seorang agen Italia mengomplain, "Adalah tak mungkin mendapatkan selembar peta perjalanan, karena jauh-jauh hari sang Raja telah mengeluarkan dekrit kematian bagi siapa pun yang melakukan kenistaan itu."

Skandal buku (peta)

Runtuhnya pencaplokan Portugis di Nuswantara bermula sekali ketika Cornelis dan Frederik de Houtman pada 1592 mengadakan perjalanan kerja sama dagang ke Portugal dan sekaligus belajar apa yang mereka sebut dengan pengembangan terbaru rute pelayaran ke Hindia Timur. Saat itu Belanda tak memperhitungkan sama sekali tanah-tanah jauh di selatan dan tenggara. Mereka menganggap sepi keberadaan Hindia. Hubungannya erat dengan Portugal tak lain disebabkan oleh usaha bersama melawan invasi Katolik Spanyol yang merupakan pusat kekuatan raksasa di Eropa kala itu.

Di Lisbon, pada saat bersamaan, Houtman Bersaudara tergandrung-gandrung dengan kehebatan peta yang bisa mengubah wajah industri Portugis. Maka secara diam-diam keduanya berusaha mendapatkan rahasia detail peta rute navigasi dan pelayaran Portugis ke Hindia. Tapi sial, mereka tertangkap dengan dakwaan menyelundupkan peta ke Belanda.

Setelah dibebaskan, Houtman bersaudara melakukan reproduksi peta selundupan asal Lisbon itu sekaligus menafsir gugus geografis dan donasi ekonominya. Bagi Houtman bersaudara, otlen bergaris-garis itu adalah harapan sekaligus masa depan industri Belanda yang kian lesu. Mereka yakin betul peta adalah jawaban atas kepanikan Eropa seluruhnya yang dilanda krisis bahan baku industri dan perang saudara. Bahkan peta menjadi tandem utama terjadinya Renaisans Eropa abad 15.

Demikian pula, peta juga yang mengubah Houtman bersaudara dari sekadar pedagang yang mencoba membuat perusahaan besar menjadi kepala navigator dalam ekspedisi pertama ke Hindia Timur pada 1595.

Mereka mengikuti jalur rintisan Portugis yang sudah dilalui orang-orang seperti Henry dan Afonso d’Albuquerque. Mereka memasuki perairan Asia melalui jalan selatan, yakni via Tanjung Harapan Baik dan pantai timur Afrika. Mereka terkagum-kagum betapa lewat jalur ini muatan dari Malaka, Maluku, dan Aceh yang diangkut Portugis melalui Tanjung Harapan ini ke Lisbon diperkirakan sekitar 40.000 dan 70.000 kuintal setiap tahunnya.

Peta dan hasrat para penakluk

Membaca buku Miles Harvey kita kemudian tahu bahwa peta adalah semacam tangan-tangan gurita laut yang menarik, mencengkeram kukuh, dan mengarahkan mulut ribuan kapal perang raksasa melintasi dan membelah perairan bumi terluas. Mencium daratan-daratan yang belum terjamah dan hanya bisa dibayangkan. Mengangkuti berton-ton rempahnya. Mengusir dewa-dewa Asia. Memasukkan iman baru. Memaksakan keyakinan dengan zirah kebenaran baru.

Kapal-kapal yang dipola oleh garis-garis peta itu tak hanya membawa nakhoda, kompas, dan peralatan navigasi, tapi juga deretan angka, saudagar, dan tentu saja serdadu dan jesuit. Mereka tak hanya mengangkut sauh, tambang-tambang, bahan makanan, berlian, dan budak belian, tapi juga bubuk-bubuk mesiu pemusnah dan buku-buku suci, serta kalung-kalung salib yang bergelantungan di dada. Juga mandat. Sebentuk surat kuasa untuk menerabas samudra. Begitu banyak yang menggayut di kamar-kamar geladak. Begitu rumit. Dan lengkap. Dan inilah barangkali bedanya dengan Christopher Columbus awal-awalnya, atau Ibn Battuta yang berulang mendatangi daratan-daratan kosong hanya karena dorongan memperturutkan kesenangan berjalan.

Gulungan peta yang berwarna jeruk bercampur merah marun dan kusam telah mengubah segalanya. Pembayangan Pierre d Aylly dari Prancis dan Toscanelly dari Italia--dengan bersandar yakin pada gambar-gambar di kertas papirus itu--telah membantah pendapat lama bahwa bumi ini luas dan tak terjangkau. Keduanya membayangkan bumi ini ternyata hanya segumpil kecil. Jarak dan deret ukurnya sempit.

Dan pendapat itu menjadi pegangan penakluk. Perahu-perahu dibakar dan dibuang begitu saja ke laut. Semuanya telah berubah menjadi kapal-kapal raksasa dengan ilmu pembuatan yang tak tertandingkan untuk mendepai jutaan mil samudra. Kebesaran Sriwijaya dan Majapahit tak ada apa-apanya melihat juntaian rumbai di tiang-tiang kapal yang berdiri kukuh menantang langit dan badai.

Dan kapal berarti juga martabat, kebesaran, puncak-puncak sebuah pencapaian hasrat yang tak pernah dikenal manusia-manusia di daratan yang disinggahi, dicucupi, dibudaki, dan ditipu. Dan itu bermula dari peta. Juga "skandal kecil" yang menyertainya.

No comments: