Saturday, July 21, 2007

Ke Mana itu Anjing-Anjing Penjaga

Oleh AN Ismanto

Judul: Anjing Penjaga: Pers di Rumah Orde Baru
Penulis: Omi Intan Naomi
Penerbit: Gorong-Gorong Budaya bekerjasama dengan Institut Studi Arus Informasi
Cetakan: Pertama, Juni 1996
Tebal: xxiv + 427 halaman


Dengan menggunakan metafora anjing penjaga, Omi Intan Naomi hendak menyatakan bahwa pada hakikatnya pers tak ubahnya seekor anjing penjaga, yang diadakan demi keamanan dan ketenteraman. Walhasil, tugas pers sama dengan anjing penjaga. Sehingga, jurnalis, sebagaimana intelektual, adalah “elit strategis” (Suzanne Keller) dalam keriuhan jagat perpolitikan suatu masyarakat.

Tugas anjing penjaga adalah menggonggong, atau bahkan menggigit, jika ia mencium isyarat ketidakamanan di suatu lingkungan. Pers pun harus menyuarakan isyarat-isyarat ketidakberesan, jika ada, dalam lingkungan di mana pers hidup, yaitu masyarakat. Namun, kenyataannya pers kerap mendapat hambatan ketika ia harus melaksanakan tugasnya—sejarah pers Indonesia mencatat pelbagai pembredelan dan tindakan anti-pers.

Buku ini merupakan jelmaan dari skripsi sarjana Omi Intan Naomi pada 1994 di jurusan Komunikasi Universitas Gadjah Mada. Namun jangan berkerut dulu, karena buku ini sudah disulap sedemikian rupa dari bentuk skripsi yang (biasanya) kaku dan kikuk. Buku ini dipotong menjadi artikel-artikel pendek dengan bahasa-bahasa yang plastis yang menjadi kekhasan esai-esai budaya Omi Intan Naomi. Di buku ini, hubungan antara pers dan kekuasaan dibentangkan.

Halaman-halaman pertama buku ini menelisik kebebasan pers, yang menjadi landasan demokratis dalam kapasitas pers sebagai penjaga. Terma itu berhulu pada “kebebasan” dan “pers”. Kebebasan bisa diartikan sebagai kemampuan eksistensial manusia untuk menentukan diri sendiri, atau kemampuan untuk memilih satu dari sekian alternatif tindakan yang tersedia (hal. 7). Sedangkan ketidakbebasan adalah kondisi di mana terdapat upaya untuk membatasi pilihan atau menutup alternatif tertentu hal. 8).
Dalam konteks bernegara, kebebasan menjadi entitas yang positif, sehingga konstitusi wajib menjaminnya. Dengan begitu, peraturan dan etika tidak akan masuk akal keberadaannya jika tidak ada kebebasan.

Namun, kebebasan bukan saja bebas dari sesuatu. Bila orang menginginkan kebebasan, maka ia juga harus memikirkan mau apa kalau ia sudah bebas (hal. 6). Sementara itu, keberadaan pers dirunut balik dengan logika bahwa dalam suatu tertib masyarakat, ada sistem sosial dan sistem komunikasi. Pers adalah bagian dari sistem komunikasi tersebut (hal. 11). Seturut peraturan MPRS, tanggung jawab pers adalah kebebasan untuk menyatakan serta menegakkan keadilan dan bukan kebebasan dalam pengertian liberalisme. Dalam Sidang Pleno Dewan Pers pada 1984, disepakati bahwa pers nasional adalah pers Pancasila, pers pembangunan, dan pers sehat yang bebas dan bertanggung jawab.

Fungsi-fungsi kebebasan pers, menurut Sumono Mustofa, ada enam.

Pertama, fungsi pendidikan dalam arti seluas-luasnya, terutama tentang pelaksaan pembangunan, makna dan prosesnya. Kedua, fungsi penerangan, memberikan informasi kepada publik. Ketiga, memberikan hiburan, gairah hidup, dan optimisme. Keempat, mendorong kegiatan budaya dalam arti luas. Kelima, melakukan kontrol sosial dalam semua bidang, menerapkan prinsip komunikasi dua arah antara pemerintah dan rakyat. Keenam, fungsi sarana modernisasi. Kebebasan dan fungsi-fungsi itu di Indonesia, dalam kenyataanya, kerap mendapat hambatan. Kebebasan pers, sebagai syarat mutlak masyarakat yang demokratis, ditentukan oleh hubungan kekuasaan dan pers. Kebebasan pers Indonesia diukur berdasarkan keterbukaan media dalam mengungkap informasi yang berkaitan dengan pemerintah.

Padahal, dalam melaksanakan tugasnya sebagai penjaga, pers kerap harus mengguncang sistem politik yang berlaku. Sedangkan sikap Orba terhadap kritik dan oposisi menuruti pemikiran Jawa, adalah: “berhadapan dengan kekuasaan, penilaian moral harus diam”.

Pers Indonesia memperlihatkan sikapnya terhadap kekuasaan dalam rubrik yang biasanya berjudul Tajuk Rencana. Rubrik ini menjadi ukuran untuk melihat posisi suatu media dalam konstelasi politik negara. Sikap media, ternyata, juga tidak selalu tetap. Ibarat orang, media pun bisa plin-plan.

Omi pun tergerak untuk melihat secara lebih dekat bagaimana gejala “galak”-nya mass media terhadap pemerintah pada masa-masa sekitar kejatuhan Orla, seperti yang terbaca pada tajuk-tajuk rencana Kompas dan Suara Karya serta beberapa mass media lain.

Namun, setelah beberapa tahun, rubrik yang sama seringkali berkurang kadar galaknya, seperti tajuk-tajuk Kompas, yang menjadi lebih halus dan “kompromistis”—sehingga ia masih bisa terbit. Sedangkan Suara Karya menjadi sangat lembut terhadap pemerintah Orba. Ini bisa dimaklumi, karena ia adalah corong Golkar, yang notabene organ sosial politik—bukan partai—yang menguasai parlemen dan eksekutif.

Pemerintahan Orba mesti diakui berhasil membentuk kondisi otoriter. Dalam kondisi itu, terdapat ideologi nasional yang selalu memihak pemerintah, pancaran legitimasi (pemilu), dan ormas sebagai perantara rezim dan rakyat. Sehingga, pers dalam negara otoriter menghirup udara yang kurang lebih sama dengan warga negara perseorangan. Ia kekurangan oksigen bila menyempal dari mesin besar rezim penguasa (hal. 36).
Walhasil, pers berubah menjadi pers otoriter. Pers otoriter memromosikan tata kemasyarakatan politik yang berlaku, antara lain dengan istilah-istilah yang akrobatik seperti “stabilitas yang dinamis” dan “dinamika yang stabil”. Jurnalis ditugasi menghubungkan lidah penguasa dengan telinga rakyatnya. Jurnalisme dan persnya hanya berfungsi sebagai kurir dan kebebasannya dibatasi, bahkan ditebang.

Dalam catatan sejarah pers kita, hanya ada dua periode masa-masa ideal kebebasan pers di Indonesia, keduanya berbau liberal, yaitu Proklamasi 1945 hingga awal Demokrasi Terpimpin, dan akhir Soekarno hingga Pemilu 1971 (hal. 142). Kebebasan pers sama sekali lenyap pada akhir pemerintahan Soekarno. Baru setelah Orla tumbang, pers bisa sedikit lega. Namun, bulan madu itu tidak lama. Orba pun memraksiskan ulang pembatasan atas kebebasan pers.

Pembredelan massal pada masa Orba bermula pada sekitar Pemilu 1971, di mana 52 penerbitan dilarang terbit. Lalu, berturut-turut pada 1972 dibredel, 50 penerbitan, 1973 32 penerbitan, Malari 1974 73 penerbitan, 1981 24 penerbitan, 1990 kasus Monitor 36 tindakan anti-pers.

Otoriterisme Orba tampak jelas dalam alasan pencabutan pencabutan SIUPP beberapa mass media. Pada 1986, Sinar Harapan dibredel karena menurunkan berita “Pemerintah Akan cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor”. Editor diganyang karena berita mutasi besar-besaran di Kejagung, Detik terkait dengan buku Primadosa dan Presiden Ketiga, majalah Tempo melaporkan pembelian kapal-kapal perang bekas Jerman Timur, dan Jakarta-jakarta karena foto sampul dan serial foto “Bikini Kuda Binal” dan “Parade Kuda Binal”. Namun, ada juga tindakan anti-pers yang dilakukan oleh masyaakat, seperti pada kasus Monitor dan lawatan empat orang jurnalis ke Israel.

Ada dua alternatif penyikapan kepada pembredelan itu, yaitu melalui jalur hukum dan pendekatan atau musyawarah (hal. 96). Jalur hukum lebih jarang ditempuh, meski ada, karena meminta energi dan resiko yang besar. Yang lebih kerap digunakan adalah pendekatan, atau musyawarah, di mana pihak terbredel melakukan kompromi dengan pemerintah.

No comments: