Wednesday, July 18, 2007

Si Terkutuk yang Jarang Dibaca

Oleh Muhidin M Dahlan

Judul: Kapital (Buku I dan Buku II)
Judul Asli: Das Kapital: Kritik der politischen Oekonomie
Penulis: Karl Marx
Penerjemah: Oey Hay Djoen
Penerbit: Hasta Mitra, 2004 (Buku I) dan Hasta Mitra-Ultimus-IGJ, 2006 (Buku II)
Tebal: lvii+929 halaman (Buku I) dan 580 halaman (Buku II)


Secarik surat melayang kepada Karl Marx. Pengirimnya Penerbit Leipzig. Isinya pemberitahuan, peringatan, atau boleh juga ancaman: “Herr Doctor yang Terhormat: Anda telah 10 bulan terlambat dari waktu yang telah disepakati untuk menyelesaikan buku Das Kapital, yang telah Anda sepakati untuk diterbitkan di penerbit kami. Jika kami tak terima naskah itu dalam 6 bulan ini, kami harus menugaskan penulis lain untuk menulis buku ini.”

Barangkali karena desakan itu Mbah Jenggot atau Marx menjadi mirip seorang rahib yang bertapa di perpustakaan London, The British Museum, yang sunyi dan dingin untuk merampungkan naskah yang terbengkalai; padahal uang kontrak sudah habis dikonsumsi, sementara para penagih utang terus merecoki konsentrasinya. Ia tak peduli waktu dan lupa diri melakukan penjelajahan di lipatan-lipatan koran, di baris-baris buku tebal, di lembar-lembar buletin-buletin, dan teks-teks pidato. Ia juga bahkan lupa anak-istri di rumah.

Pengerjaan buku setebal bantal ini memang memakan tumbal. Tiga dari enam putranya meninggal di usia kanak-kanak, sementara sisanya lagi mati bunuh diri karena tak kuat memundaki kemelaratan. Praktis dalam sisa-sisa hidupnya yang heroik (bagi pemujanya) Marx hanya menggantungkan asap dapurnya pada sahabatnya Friederich Engels yang dilembar khusus Das Kapital disapanya “Fried sayang”.

Tapi pengabaian keluarga yang tak bertanggung jawab itu melahirkan berjilid-jilid buku. Namun ia hanya menyelesaikan jilid pertama karya itu, sementara jilid 2 dan 3 diselesaikan Engels dari serpihan tulisan tangan kumal yang susah dibaca. Sementara Karl Kautsky menyusun kembali catatan Marx tentang sejarah teori nilai lebih yang disebut-sebut sebagai jilid keempat Das Kapital.



Saya punya keyakinan sampai akhir hayatnya Marx itu bukan juru pidato yang mempesona, walau pada usia 30 tahun ia sudah menuliskan The Communist Manifesto (1848) yang dahsyat itu. Buku risalah ekonominya ini tak tulis di tengah-tengah kesibukan gerilya atau di hadapan massa yang haus akan semangat dan dorongan revolusioner.

Tak ada khotbah di sini, sebab kita akan dituntun dalam kelokan meliuk-liuk yang kalau kehilangan kendali akan pusing kita dibuatnya. Tak saja karena tebalnya, tapi juga cara pemaparan Marx yang bertele-tele. Bila Stephen Hawking terpaksa memasukkan satu-satunya rumus E=mc2 dalam adikarya astronominya dengan permohonan maaf kepada pembacanya terlebih dahulu, maka Marx memasukkan angka-angka itungan semau-maunya.

Karena sepenuhnya ilmiah, maka yang gaib-gaib musykil ditemukan di sini. Apalagi anjuran membenci agama sebagaimana yang selalu dinisbahkan kepada Marx selama ini. Buku ini adalah risalah ekonomi yang diaduk dengan bumbu filsafat, humanisme, kerja, dan hitungan pelik akumulasi modal. Campur baur itu semua (quid pro quo).

Kitab Suci Buat Buruh

Buku ini adalah respons dan koreksi serius dari para pemikir sosialisme awal seperti Claude Henri Saint Simon (1760), Robert Owen (1771-1858), Charles Fourier (1772-1837), maupun Wilhem Wailting (1808-1871) yang meniscayakan tentang keadilan dan keharusan memberontak terhadap kaum kapitalis ketimbang menyiapkan suatu paket analisis terlebih dahulu atas situasi penderitaan kaum buruh. Ia juga menubruk cara berpikir Hegel yang mendewa-dewakan ide ketimbang aksi materi.

Sejak awal memang pokok perhatian Marx sesungguhnya adalah konsep tentang relasi-relasi antarmanusia dalam proses produksi. Ia berkeinginan kuat membuktikan secara ilmiah bahwa kapitalisme semata-mata proses eksploitasi terhadap buruh.

Karena itu bab 1-9 adalah usaha Marx membabat teori-teori kapitalisme klasik dan dilanjutkan dengan menampangkan foto negatif bagaimana sistem itu bekerja (bab 10-33). Sementara pada Buku ke-2 hanya berupa penekanan-penekanan materi yang sudah dibahas pada Buku ke-1.

Poin penting pertama yang diusung Das Kapital adalah teori nilai lebih setelah sebelumnya ia membuka risalah ini dengan menyasar definisi komoditas dan posisi pemilik modal dan buruh. Sesuatu disebut komoditas bila di dalam dirinya hadir secara sekaligus antara bentuk objek yang berguna (naturalform) dan nilai (wertform). Komoditas ini yang kemudian menjadi kompas penentu ke mana gepokan uang mengalir dan bagaimana nilai lebih ditafsir oleh penguasa modal.

Uang hanya alat. Komoditas yang menggerakannya. Sementara nilai adalah pembenarnya. Maka kapitalisme, kata Marx, dengan licik menjadikan pekerja sebagai komoditas; berbaur tak bedanya dengan kepemilikan alat-alat produksi seperti bahan mentah dan mesin-mesin perkakas. Agar komoditas itu bisa digerakkan mengeruk uang, maka ia dikuasai. Dititik inilah proses alienasi buruh berlangsung yang hanya bisa dipecah dengan aturan-aturan yang revolusioner.

Salah satu poin penting Das Kapital adalah menempatkan kerja sebagai usaha mulia. Kerja, bagi Marx, adalah mediasi antara alam dan manusia; sekaligus penanda dimensi eksistensial manusia yang konkret. Pandangan ini kemudian menjadi pemahaman utuh tentang kemanusiaan yang emansipatoris.

Hubungan ekosistem itu kemudian menjadi rusak ketika pemilik modal melakukan eksploitasi kerja kaum buruh di luar proporsinya. Dengan dikuasai, kebebasan manusia/pekerja dirantai; dan itu jelas bertentangan dengan nilai kemanusiaan emansipatoris. Di sinilah kunci kenapa Marx mati-matian menjelaskan posisi “nilai lebih”, sekaligus kritik pedas atas pendapat pendahulunya, David Ricardo, yang menelurkan teori kerja tentang nilai (labour theory of value).

Menurut Marx, nilai lebih adalah perbedaan nilai benda atau kerja yang dihasilkan oleh pekerja dengan biaya pemulihan tenaga kerja itu sendiri. Tapi sistem itu tak muncul begitu saja, melainkan lahir dari dialektika material kapitalisme yang panjang. Di sana, kapitalis selalu memperhitungkan agar biaya produksi berada di bawah nilai jual. Nilai produksi adalah nilai alat-alat yang dipakai ditambah dengan nilai tenaga kerja yang dihabiskan untuk menghasilkan produk itu. Selisih antara keduanya yang disebut laba bersih.

Nilai lebih terjadi umumnya bila pemodal menyuruh buruh agar bekerja melebihi jam yang dibutuhkan untuk memproduksi barang/jasa tadi. Marx berpendapat, nilai lebih ini bersifat eksploitatif karena hasil dari lembur tidak digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, melainkan hanya menambah laba kapitalis untuk memperbesar modalnya.

Sirkuit eksploitasi dan akumulasi modal ini, menurut Marx, hanya akan menghancurkan diri kapitalisme itu sendiri. Tapi banyak orang yang menafikan asumsi-asumsi nyinyir Marx atas masa depan kapitalisme yang ternyata dalam sejarahnya anteng-anteng saja. Apalagi latar bangun analisis Marx didasarkan pada model kapitalisme abad 19 yang boleh dibilang sudah rudin.

Memang kapitalisme pernah mengalami krisis-krisis besar seperti peristiwa malaise 1930-an serta susutnya ekonomi Amerika 70-an dan dekade akhir 90-an. Tapi semuanya tak mengirim kapitalisme ke liang kuburan lantaran keluwesan kapitalisme mengubah organisme dirinya. Malah sebaliknya, sosialisme yang terkilir dan tumpah ke lubang yang disiapkannya untuk kapitalisme.

Tapi di luar itu semua risalah ekonomi ini masih menyimpan enigma dan belum tergantikan sebagai “Kitab Suci” bagi buruh. Ia memberi inspirasi bagi buruh, sekaligus hantu menakutkan bagi kapitalis dan komprador-komprador negaranya, termasuk di Indonesia. Walaupun menakutkan dan dikutuk habis-habisan, tapi buku ini senasib dengan penulisnya: hidup sunyi dan tak banyak dibaca.

Ya, ketika jasadnya dituang ke liang pekuburan Highgate, London, 17 Maret 1883, hanya delapan orang yang berdiri di sisian makamnya. Aduh, Mbah Jenggot, ironis sekali hidupmu.


No comments: