Thursday, July 5, 2007

‘Malpraktik’ dari Digul

Oleh Muhidin M Dahlan

Papua Sebuah Fakta dan Tragedi Anak Bangsa
Penulis: dr John Manangsang
Cetakan: I, 2007
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Tebal: xlii+436

Digul adalah ingatan tentang gelap sejarah politik Indonesia. Ia adalah—pinjam istilah mantan digulis Hatta—adalah ‘neraka dunia’ yang diciptakan penguasa Hindia Belanda, Gubernur Jenderal De Graeff di awal-awal 1927 sebagai tempat buangan para aktivis. Memang tak ada tembok-tembok besar yang mengurung di sini. Sebab rimba dan paya-paya kaya nyamuk cukup menebar horor yang menggetarkan bagi siapa pun; walau ia seorang aktivis pergerakan sekeras kepala seperti Marco Kartodikromo.

Digul beda dengan Gulag yang penuh dengan lampu sorot, para sipir siaga siang malam memegang pecut dan mengokang senapan, serta tembok-tembok raksasa. Di Digul ada rumah ibadat, warung-warung, ‘rumah sakit’, bahkan bioskop. Jika kemudian Digul menjadi sangat menakutkan, tiada lain karena pembunuh terbuas di sana adalah rasa bosan yang membunuh harapan. Setiap orang yang berada di sana mesti berjuang mati-matian menjaga kewarasan agar tak jatuh menjadi gila.

Jika kemudian ada orang mampu berbuat sesuatu di tanah yang dikurung rimba dan gunung-gunung ini, pastilah dia adalah pribadi-pribadi papilon. Dr John Manangsang adalah salah satu papilon yang bukan hanya luput dari ‘gangguan jiwa’, namun dengan kedua tangannya bisa membangkitkan inspirasi bagi siapa pun yang bersetia bagi kemanusiaan.

Jangan membayangkan dr John Manangsang seangkatan dengan dr Tjipto Mangoenkoesoemo yang hidup di Digul ketika Indonesia masih dalam embrio. John Manangsang adalah dokter muda sebuah puskesmas saat Indonesia berada di puncak-puncak pertumbuhan ekonominya atau kerap disuarakan aparatus Orde Baru dengan keyakinan membulat: “Tahun-Tahun Emas Indonesia”.

Dr John sejatinya adalah dokter ‘lugu’ dengan satu keyakinan: “dokter adalah mereka yang disumpah dan bersumpah untuk membaktikan hidup mereka guna kepentingan kemanusiaan; menjalankan tugas dengan cara terhormat, bersusila sesuai martabat pekerjaan mereka; kesehatan penderita akan senantiasa diutamakan,... setelah itu para dokter pun pergi menyebar ke pelosok-pelosok nusantara, bahkan sampai pada tempat yang tak terbayang oleh manusia lain...”

Dr John sebetulnya bisa mencecap kehidupan yang lebih baik sebagai dokter di RS Tjipto Mangoenkoesoemo karena ia alumni kedokteran di Universitas Indonesia dengan tingkat ketekunan di atas rata-rata bagi teman-teman sealmamaternya. Namun dr John memilih untuk kembali ke Digul, ‘neraka dunia’ di mana dr Tjipto pernah dipendam pemerintahan kolonial karena sepak terjang politiknya bersama Indistje Partij.

Jakarta dan Digul adalah langit dan bumi. Tapi praktik-praktik kedokteran dipraktikkan dalam komposisi dan ilmu yang sama karena sama-sama melayani manusia yang sama sebagai pasien. Kesederhanaan, kehangatan, kesetiaan, serta keberanian dr John mengambil tindakan-tindakan medis selama 2 tahun (1990-1991) di Digul menjadi teror bagi siapa pun yang memihak pada kemanusiaan.

Teror itu kemudian dibagi dr John dalam buku berjudul luar biasa panjang ini: Papua Sebuah Fakta dan Tragedi Anak Bangsa, Pergumulan Etika, Moral, Hukum, Sosial, Budaya, Kedokteran, SDM, dan Kemanusiaan; Refleksi 15 Tahun Pasca Kisah Nyata: “Catatan Seorang Dokter dari Belantara Boven Digul dan Komentar Para Pakar Indonesia”.

Seperti seorang novelis yang telaten merinci detail yang mengguncang, dr John mamapas dengan sangat rinci setiap detik menentukan dalam sebuah operasi darurat pasien-pasiennya di puskesmas sederhana dengan alat-alat operasi yang membuat bulu kuduk berdiri, seperti silet untuk membelah perut dalam operasi sesar dan mencocor anus yang buntu; atau tang dan pahat untuk mamapas tulang lutut.

Buku ini juga bercerita dengan sangat efektif dan membius tentang perjalanan panjang 90 hari dalam sebuah ‘pawai pengabdian’ yang oleh dr John dinamai: Program Puskesmas Keliling Jalan Kaki ke semua desa di Kecamatan Mandobo, Boven Digul.

Bacalah kisah yang begitu memilukan dalam sebuah operasi cesar yang berlangsung dua kali dalam waktu empat hari dengan pasien yang sama. Setelah lolos dari operasi cesar, sang pasien harus dioperasi ulang karena ususnya terlilit dan nyaris merenggut nyawanya. Dan operasi yang bertarung dengan maut itu dikerjakan dr John di bawah penerangan lampu pertromaks karena PLN telah mematikan listrik sesuai jadwal (jam satu dini hari); walau dr John sudah mengiba-iba kepada petugas jaga agar diberi listrik paling tidak dua jam.

Lain waktu, lain pasien, di kamar yang sama. Operasi sesar dimulai dengan kepanikan serupa. Stok peralatan puskesmas di bawah minimum. Kasa steril tak punya dan harus meminjam dari kesusteran, sementara pisau operasi habis terpakai. Mobil ambulance keluaran zaman prasejarah sudah lama mangkrak karena terbalik sehabis menubruk tebing dalam sebuah program puskesmas “keliling jalan kaki”. Sterilisator memang sudah dibawa ke Perumtel untuk dipanaskan, namun listrik di Perumtel tak cukup kuat untuk memanaskan. Terpaksalah sterilisator itu direbus pakai kukusan di belakang puskesmas.
Tampaknya semua sudah siap di meja operasi. Namun dr John dikagetkan oleh teriakan perawat: “Pisau operasi habis dan tak ada satu pun yang tersisa untuk operasi ini.”

Karena tak boleh menunda operasi hanya karena soal pisau, dengan spontan dr John merogoh sakunya dan mengeluarkan uang seratus rupiah.”Tolong belikan silet Tiger di salah satu kios terdekat.” Silet itulah yang dipakai untuk membelah perut pasien.
Saat operasi atresia ani atau lahir tanpa lubang anus, dr John pun dihadapkan pada fasilitas yang minimum. Ia sudah menghubungi rekan-rekannya yang berada di kota untuk mendapatkan secuil informasi dan kalau bisa sekaligus dengan alat, namun jawaban yang diterima adalah pasien mesti dirujuk. Namun dr John tak mau merujuk pasiennya lantaran keterbatasan ekonomi.

Maka ia pun mengambil jalan nekat dalam sebuah operasi buta. Bermodal sepotong patahan silet yang berbentuk segitiga yang dijepit pada ujung klem, sebuah obeng pencongkel gigi, sebuah trokar besi tajam penembus otot, sebatang sonde pengukur dalamnya dan posisi kandungan, sebuah spekulumk hidung, sebuah tabung spuit besi penyemprot gliserin ke dalam lubang anus, dan sebuah gunting. Dan operasi itu pun dimulai tatkala mata silet itu mencocor lubang anus yang buntu itu.

Dalam kesempatan operasi yang lain, pahat yang biasa untuk pertukangan pun hadir sebagai “tamu kehormatan” di kamar bedah dr John. Pahat—dan juga palu—digunakan untuk pasiennya yang terkena artodesis atau kekakuan sendi. Alat itu digunakan dr John untuk sebuah operasi memahat sendi lutut manusia. Inspirasi memahat lutut itu justru muncul ketika operasi sudah separuh jalan dan ia menemui jalan buntu. Di saat putus asa itulah ‘kreativitas’nya muncul. Ia memerintahkan perawatnya mencari pahat, obeng, dan martil di tetangga puskesmas lalu direbus serta disirami alkohol 70%. Setelah itu ujungnya dibakar. Untuk letak yang sempit, pahat diganti dengan obeng.

Dr John Managsang mengerjakan semua pekerjaan penyelamatan jiwa manusia yang bertarung dengan penyakit-penyakit mematikan itu tanpa buku penuntun. Ia kerap hanya mengandalkan imajinasinya dengan mencoret-coret garis yang dilewati pisau pada secarik kertas atau di tubuh pasien.

Menghadapi situasi minimnya peralatan kedokteran dan ilmu yang pas-pasan, dr John lalu mengandalkan insting, keberanian,dan harapan yang dipacu pasiennya bahwa dr John adalah dewa penolong. Ia adalah wakil Tuhan yang bisa membantu mereka untuk tawar-menawar dengan maut, walau tak setiap usaha yang dilakukan dr John membuahkan hasil alias banyak juga pasiennya yang meninggal dunia akibat kegagalan operasi yang dilakukan.

Dr John bukanlah sosiolog atau sejarawan atau antropolog yang perlu melumat serigit-rigitnya data-data kondisi kemakmuran di pedalaman Papua dan memberitahu bahwa Papua betul-betul gelap dan gersang. Kisahnya tentang sayatan silet, hentakan martil yang menghantam gagang pahat dan obeng, serta listrik yang byar-pet di ruang operasi sempit cukup memberitahu bagaimana kondisi kepulauan hitam Papua. Di sana, bertumbuh harapan dan daya hidup yang sekaligus berdiri rapet bersisian dengan penyakit dan kuntitan maut.

Kesaksian yang coba dituturkan dengan rinci oleh buku ini—disertai sekira 50 gambar-gambar pasien yang berdarah-darah di meja operasi—adalah teror mental dan pedalaman kemanusiaan. Bukan saja kepada para dokter muda yang ingin mengabdi di pojok-pojok Nusantara yang bahkan kondisinya tak terjangkau oleh nalar, tapi juga buat pemangku-pemangku kebijakan publik di pusat-pusat kekuasaan.

Dan memang Digul tetap menjadi teror dan ‘neraka dunia’. Namun bedanya kini adalah anakronisme, sebab ‘neraka dunia’ itu justru berlanjut ketika Indonesia merdeka dan mencicipi bagaimana melewati tahun-tahun emas.

Itulah sebabnya kisah dr John adalah oase di tengah industri kedokteran yang berada di titik gawat setelah digerus dan dicundangi habis-habisan oleh kekuatan kapitalisme farmasi. Di sini, kemanusiaan digorok, sebab yang menentukan semuanya adalah kapital, kapital, dan kapital.

No comments: