Monday, July 9, 2007

Jhumpa Lahiri: Mikrokultura dalam Sastra Pascakolonial

Oleh Muhidin M Dahlan

Judul Buku: Interpreter of Maladies
Penulis: Jhumpa Lahiri
Diterjemahkan: Penerbit Jalasutra dan akubaca (2002 dan 2003)
Tebal: 188 halaman


“Untuk menjadi seorang penulis profesional,
berusahalah menulis tentang renik di ranah apa pun, setiap hari.”
--Jhumpa Lahiri

Nama Jhumpa Lahiri mungkin tidak akan dikenal publik sastra Indonesia secara luas andai saja karyanya yang berjudul Interpreter of Maladies: Stories (London: Flamingo, 1999; 198 halaman) tidak diterjemahkan. Sekadar catatan, kumpulan cerita Jhumpa yang kemudian diterjemahkan oleh dua penerbit sekaligus dengan dua judul yang berbeda: Jalasutra-Yogyakarta (Benua Ketiga dan Terakhir, akhir 2002) dan Akubaca-Jakarta (Penafsir Kepedihan, awal 2003), berhasil menyabet penghargaan bergengsi Pulitzer Prize untuk Fiksi—yang kemudian disusul berturut-turut the New Yorker Prize untuk Buku Kesatu Terbaik, the P.E.N./Hemingway Award, dan kandidat untuk the Los Angeles Times Award.

Tapi siapakah Jhumpa Lahiri?

Jhumpa Lahiri adalah perempuan pascakolonial: orangtua asal Bengali (Calcutta, India), lahir pada 1967 di London (Inggris), dibesarkan di Rhode Island (Amerika Serikat), dan kini tinggal dengan suaminya, Alberto Bush, wartawan Time, di New York. Dengan darah hidup dan lingkungan bercampur-baur sedemikian rupa itu, sah kiranya bila Jhumpa masuk dalam kategori manusia “diasporic culture”.

Di mana-mana, manusia bergenetik “diasporic culture” selalu merasa berada dalam jentik keterasingan (alienasi), yang selalu berada dalam kurungan “sense of exile”. Keterasingan kerap membawa seorang manusia gamang dalam mencobai hidup yang berhadapan dengan pelbagai ragam budaya yang serbabaru. Tapi keterasingan bukan untuk ditinggalkan, tapi dijalani. Benturan-benturan “diasporic culture” itulah yang menjadi tema utama semua penulis yang lahir dan besar dalam kapsul ranah pascakolonial, seperti Salman Rushdie, R.K. Narayan, V.S. Naipaul, Michael Ondaatje, Arundhati Roy, dan lain-lain.

Demikian pula dengan Jhumpa Lahiri. Tapi Jhumpa tidak seperti Edward W. Said yang menggelontorkan teori relasi dan perembesan kuasa kolonial, melainkan memperlihatkan secara langsung kehidupan yang sesungguh-sungguhnya yang dialami manusia pascakolonial (semua tokoh cerita Jhumpa adalah orang India perantauan). Ia memaparkan semua itu sedemikian detailnya, terutama interaksi dan tarikan-tarikan kebudayaan manusia yang “terjebak” dalam kapsul dualisme kebudayaan (sembilan cerita dalam antologi ini gonta-ganti mengambil seting India-Amerika).

Tema keterasingan itu sudah kita jumpai sejak cerita pertama dalam antologi ini: “A Temporary Matter”. Dengan mengambil seting Boston, USA, dan tokoh utama pasangan suami-istri: Shukumar dan Shoba, pembaca diajak berkelana di ruang keluarga kecil imigran yang memosisikan dirinya dalam arus besar kota Boston—tanpa tamu, tanpa kenalan yang berarti. Karena itu dialog yang terjadi dalam lima hari lima malam yang gulita—tanpa penerangan karena pemadaman listrik dalam kota—terisolasi hanya melulu di seputar keluarga. Sudah bisa kita bayangkan bagaimana sunyinya jiwa-jiwa manusia pascakolonial yang terisolasi di dalam “rumah [asal]”nya itu.

Keterasingan yang serupa kita bisa temukan dalam cerita terakhir: “The Third and Final Continent”. Cerita ini dengan elegan berkisah tentang tokoh “aku” yang terdampar di tiga benua: India, lalu pada 1964 pindah ke London, dan menetap di Boston. Cerita semi-autobiografis ini, selain berisi catatan perjalanan, juga di dalamnya kita temukan benturan kebudayaan dan identitas kepahlawanan. Dikisahkan bagaimana “aku” setiap masuk ke apartemen “rasis” (hanya mahasiswa Harvard University yang diizinkan tinggal) dan dijaga oleh seorang nenek berusia seabad, harus mengucapkan kata: “Rruaarr biasa!” ketika nenek tua itu berteriak, “Ada bendera Amerika di bulan.” Di sini, mau tak mau tokoh “aku”, walaupun sungkan, harus tahu diri bahwa kakinya sedang berjejak di ranah rantau yang sama sekali berbeda dengan tradisi asalnya.

“Interpreter of Maladies” yang kemudian dijadikan banner judul antologi Jhumpa, berkisah tentang keluarga asal India yang sudah bertahun-tahun meninggalkan tanah asalnya ke Amerika Serikat. Dan kini, dengan dipandu seorang guide yang memiliki pekerjaan sebagai penerjemah penyakit di sebuah klinik Gujarat, mereka melancong kembali ke tanah asalnya. Sebagaimana umumnya wisatawan Barat, betapa tercengangnya mereka dengan pesona oriental seperti kuil, cerita-cerita dewa yang disodorkan oleh tanah asalnya yang itu semua mereka tidak dapatkan di negeri-negeri oksidental.

Ada satu ciri khas cerita Jhumpa Lahiri: ceritanya bertumpu pada tuturan yang cermat dalam pengungkapan detail dan kesederhanaan bahasa dan narasi. Dalam sembilan cerita dalam antologinya ini, kita tidak menemukan cerita-cerita besar dan pengungkapan yang njlimet. Tidak pula mengungkap pergulatan manusia berhadapan dengan masalah-masalah kekuasaan ataupun ideologi besar. Elegansi cerita Jhumpa terletak dalam pengungkapan yang detail dan cermat. Dan umumnya detail itu bergerak dan menari-nari dalam lingkup sehari-hari yang umumnya privatif: keluarga, makanan, dapur, kampus, dan gedung-gedung kota. Maka, istilah-istilah pakaian, lipstik, sederet nama-nama makanan (baik makanan Amerika [hotdog, cornflake, …] maupun India [miju-miju…]), dan hampir semua alat dapur berdentingan di sekujur tubuh ceritanya.

Betapa terampilnya Jhumpa mengulak-alik ingatan negeri asal dan negeri rantauan dalam ranah mikrokultura (subjek budaya renik) lewat metafora makanan. Artikel Asha Choubey, pengajar Kanya Mahavidyalaya, India, di sebuah web pascakolonial, jelas-jelas menunjuk bagaimana lewat makanan, tergambar potongan-potongan pola putaran kehidupan manusia pascakolonial, manusia yang berada di “pintu gerbang”. Di sana, makanan tidak lagi dipandang sebagai makanan an sich, tapi telah menjadi budaya, menjadi bahasa, dan menjadi subjek yang menunjuk pada identitas etnik tertentu. Pendeknya, “Food becomes a motivating force in these stories,” tulis Choubey.

Ambil kisah “Mrs. Sen’s” yang di sana Jhumpa menggambarkan gerilya kerinduan akan ranah asal lewat tokoh Nyonya Sen. Suatu hari, Nyonya Sen kebelet ingin membeli ikan yang menjadi makanan utamanya ketika masih tinggal di Bengali dahulu. Tapi apa daya, di Amerika (ranah rantauan) sulit mendapatkannya. Kalaupun ada, rasanya begitu hambar. Saking kebeletnya, ia berkeliling mencarinya di setiap sudut kota dengan berkendara mobil. Tapi apes, bukan ikan yang didapat malah kecelakaan. Atau “The Third and Final Continent” yang mengisahkan “aku”—laki-laki rantauan asal Bengali—yang walaupun sudah akrab dengan makanan Amerika yang mengharuskan memakai sendok, tetap saja ia lebih senang makan dengan tangan telanjang sebagaimana kebiasaan masyarakat Asia Selatan.

“Ritual” di meja makan juga bisa kita baca dalam “When Mr. Pirzda Came to Dine” dan Treatment of Bibi Haldar”.

Tentu saja kisah-kisah itu tidak sekadar cerita tentang makanan, melainkan juga memotret usaha seorang manusia pascakolonial mempertahankan identitas asalnya dengan menghadirkan apa saja yang berbau asal dalam ranah eksilnya, walaupun itu hanya sekadar makanan (salah satu renik dalam ikon mikrokultura).

Kesahajaan cerita dan usaha yang gigih menjembatani benturan tradisi di ranah pascakolonial dengan jalan membalut isu-isu mikrokultura dalam urat nadi cerita itulah yang menyebabkan karya Jhumpa Lahiri mendapat tempat terhormat di kancah sastra internasional. Maka tahulah kita, bahwa untuk mendapatkan “pengakuan”, tidak mesti membuat cerita-cerita yang “aneh” sebagaimana Rowling, Tolkien, atau bahkan insan-insan muda sastra yang membanjiri ranah sastra Indonesia terkini dengan pengucapan yang kerap “dirumit-rumitkan”.

Jhumpa tidak perlu beraneh-aneh dalam pengungkapan dan pilihan tema-tema besar dan wah dalam bercerita. Ia hanya mengisahkan soal-soal kecil, sepele, remeh-temeh, yang dihadapi seorang manusia di dua kebudayaan yang berimpitan, dengan pemecahan masalah yang “wajar-wajar” saja. Namun Jhumpa sangat bersungguh-sungguh dan telaten mengelola jalinan detail mikrokultura itu. Dan kesungguhan dan ketelatenan itu tampaknya sudah lebih dari cukup untuk mengantarkannya duduk dalam jajaran sastrawan-sastrawan berkelas seperti Naipaul, Narayan, Hemingway, Raymond Carver, dan lain-lain.



No comments: