Saturday, July 14, 2007

JM Coetzee: Politik Ras dalam Sastra Pascakolonial

Oleh Muhidin M Dahlan

The Waiting for Barbarians
Penulis: JM Coetze
Diterjemahkan: Penguin Books, NY (1980)
Tebal: 156 halaman


“Seorang penulis tidak sama dengan duta besar bagi sebuah negeri yang tidak boleh tidak harus membela habis-habisan negeri itu. Tugas seorang penulis hanya mengatakan kebenaran yang ia saksikan. Tak lebih dari itu.” JM Coetzee

Dianugerahinya sastrawan Afrika Selatan, John Maxwell Coetzee, atas nobel sastra 2003, bukan hanya menjadi kemenangan Coetzee dalam arti pribadi, melainkan juga kemenangan atas perjuangan panjang yang melelahkan atas rasialisme yang menghantui dunia puluhan tahun. Tercatat bahwa Coetzee adalah salah satu di antara ribuan pribadi yang dengan segala kesungguhan merekam dengan jeli dan detail bagaimana rupa rasialisme yang mencucuk-cucuk dan mencerabut asas kesadaran kemanusiaan seorang manusia menjadi barbarian atas sesamanya.

Salah satu karya Coetzee yang mengusung tema rasialisme dan barbarianisme itu adalah The Waiting for the Barbarians yang dipuji oleh Chris Switzer dalam sebuah situs sebagai a story first and foremost about love and unspoken forgiveness.

Pada 1991 novel ini dialihbahasakan oleh Penerbit Obor dengan judul yang mangkir dari aslinya: Jeritan Hati Nurani, Dilema Kehidupan Sang Hakim. Penjudulan terjemahan ini memang sedikit melemahkan semangat yang ingin disampaikan oleh judul asli, yakni gugatan dan sekaligus rasa nelangsa (baca: hampa) atas praktik politik rasialisme yang buas dan biadab.

Dengan titel The Waiting for the Barbarians, Coetzee coba mempersoalkan pengertian barbar di pentas dunia. Siapakah yang barbar, orang-orang pedalaman Afrika (dan manusia-manusia “Dunia Ketiga” umumnya) ataukah kolonialis-kolonialis Eropa? Siapakah si beradab dan si biadab, mereka yang pigmen kulitnya hitam ataukah putih? Pertanyaan-pertanyaan yang memaksa kita untuk kembali menengok bagaimana praktik politik apartheid dilangsungkan di sebuah peradaban.

Ya, novel ini memang harus kita letakkan dalam konteks politik apartheid yang mengeras dan mengurung Afrika Selatan selama 46 tahun (1948 – 1994). Selama waktu empat dasawarsa lebih itu, kemartabatan manusia dinilai lewat formasi dan klasifikasi ras: putih, berwarna, Indian, dan hitam.

Ditilik secara genealogi, sebagaimana pernah diulas oleh buletin KUNCI Cultural Studies (8/09/2000), rasialisme ada bersamaan dengan tumbuh-kembangnya wacana biologis Darwinisme sosial yang lebih menekankan pada "garis keturunan" dan "tipe-tipe manusia". Di sini ras menunjuk pada karakteristik-karakteristik yang paling jelas dinyatakan dengan pigmentasi kulit. Atribut-atribut ini kemudian seringkali dikaitkan dengan intelejensi dan kemampuan, yang dipakai untuk memeringkat kelompok-kelompok yang telah diraskan dalam hierarki sosial, superioritas kepemilikan material, dan subordinasi. Akar dari rasialisme itu lalu menjelma menjadi kekuatan sosial yang cukup fantastis ketika diambil alih oleh mesin kekuasaan politik.
Oleh JM Coetzee, ras yang terbentuk dari proses sosial dan pertarungan kekuasaan politik itu digambarkan dalam suasana dan bahasa yang sangat muram. Tak salah kiranya bila kritisi sastra Nilanjana S. Roy menyebut Coetzee sebagai a bleak and pessimistic writer (penulis yang murung dan pesimistik).


DALAM novel The Waiting for the Barbarians, Coetzee menempatkan tokoh “aku” yang berasal dari peradaban “beradab” (baca: kulit putih, Eropa) sebagai tokoh protagonis. Saya kira pemilihan protagonis dari sisi di luar peradaban pengarangnya sendiri ini sudah dipertimbangkan secara matang. (Sekadar catatan, bahwa teknik yang sama juga pernah dilakukan Pramoedya Ananta Toer, pengarang gaek asal Indonesia ketika menuliskan sekuel keempat roman Tetralogi Buru-nya, Rumah Kaca). Dan teknik semacam ini gampang-gampang susah. Dibutuhkan penguasaan seperangkat pengetahuan, tersedianya script kebudayaan yang memadai, dan bahkan sang pengarang harus mengenal dengan baik psike-diri dari peradaban yang selama ini dijunjung-junjung kaum cendekia dan sejarawan sebagai peradaban yang (selalu) berada “di atas angin”.

Selain itu, tentu saja pilihan teknik ini merupakan usaha pengarang untuk “selamat” dari jebakan terlampau emosional ketika memperhadapkan secara oposisi biner antara dua kekuasaan (si “beradab” dan si “biadab”) yang dalam kenyataannya saling mendelik dan menenggang satu dengan lainnya.

Sebagaimana Pramoedya menampilkan tokoh Indo bernama Pangemanann (dengan dua n), Coetzee menampilkan tokoh “aku” yang seorang hakim, seorang sep di tanah kolonial. Ia ditugaskan untuk mengatur segala bentuk administrasi dan mencatat pelbagai peristiwa (baca: memata-matai gerak kaum “barbar”) yang kemudian menjadi bahan laporan kepada Ratu Kerajaan. Tapi betapa melonjaknya si aku. Studi-studi kemanusiaan yang ia dapatkan di ruang-ruang kuliah Eropa seakan menjadi batal ketika berhadapan dengan kenyataan di lapangan. Si aku mendapatkan bagaimana popor senapan berkelebatan memangsa para tawanan. Dilihatnya, betapa Eropa yang agung, yang beradab, yang dijunjung dan disembah-sembah karena ketinggian pengetahuannya, memperlakukan tahanan-tahanan kulit hitam dengan buasnya. Si aku menyaksikan pelbagai praktik genosida, interogasi, bentakan, rintihan yang dilakukan oleh serdadu-serdadu dari dunia “beradab” yang dalam hal ini diwakili oleh dua tokoh: Kolonel Joll dan Sersan Mayor Mendel.

Dua tokoh itu adalah representasi sempurna dari wajah Eropa yang lain yang selalu dikaluti oleh rasa jumawah, serbawah, dan serbasuper. Hasrat yang terendap adalah apa yang disebut Epicurus sebagai desire of wholeness (hasrat serbamenyeluruh). Hasrat itu kemudian mendorong misi “polisional” (civilizin mission) untuk memberadabkan negeri-negeri “biadab” yang dihuni oleh sebagian besar manusia berpigmen berwarna, Indian, dan hitam.

Coetzee, lewat narasi sang asing (the other) memerlihatkan begitu banyak penyimpangan, keterbelahan, dan bahkan kontradiksi internal yang manusiawi dalam cerita pahit apartheid. Juga raungan kejujuran si aku yang coba melihat dan mengritisi kebudayaan sendiri, yang selama ini dianggap segala-galanya, tapi ternyata di lapangan terus mengukir wajahnya yang paling brengsek dan brutal.
“Aku menyaksikan hal yang kutakutkan: sebuah kereta hitam ditarik kuda melintas, kemudian di belakangnya para tawanan berjalan mengikuti sambil tersauk-sauk karena batang leher mereka diikat dengan tambang… dan ditembak.”

Didorong oleh kemurnian nurani, si aku coba berjuang membelokkan mata batinnya yang meraung-raung atas praktik pongah “ras putih”nya dengan mencoba memberi secuil “balas-budi”. Ia menolong seorang pengemis perempuan muda kulit hitam yang buta dan mempekerjakannya di dapur. Bahkan, tidak lama kemudian si aku berjuang mati-matian mengembalikan perempuan itu ke sukunya dengan melintasi gurun selama 12 hari.
Dan atas usahanya itu, ia dicap sebagai pengkhianat oleh serdadu Ratu. Ia dijebloskan dalam tahanan oleh karena satu dosa: coba keluar dari kepompong rasialisme yang menghina manusia dan memerosotkan derajatnya ke tempat yang serendah-rendahnya.

Di titik ini saya menarik semacam ajar, bahwa si aku yang dihidupkan oleh Coetzee adalah representasi dari nurani Eropa. Kegelisahan si aku adalah kegelisahan nurani Eropa yang dikubur oleh politik kolonial (Eropa) yang menyimpan prasangka rasial yang mematikan ras-ras yang didefinisikannya sebagai barbarian (kulit hitam, berwarna, dan Indian). Saya pikir gagasan psikiater radikal Aljazair, Frantz Fanon, dengan Coetzee bertemu di terminal asumsi ini, bahwa humanisme yang digembar-gemborkan Eropa selama ini tidak lain adalah humanisme-rasis, yang untuk menyusun tangga-tangga peradabannya hingga berada di anak tangga puncak, mereka seperti dipaksa menciptakan budak dan monster.

Tahulah kita sekarang betapa tipis dan betapa awangnya beda antara “beradab” dan “biadab”. Siapakah yang disebut beradab. Humanisme-rasis Eropakah? Ataukah gerakan pembebasan pribumi-pribumi kulit hitam Afrika yang terus dikejar dan diburu oleh kulit putih sebagai kaum barbar yang wajib ditumpas?

Dengarkan jawaban Coetzee lewat narasi si aku: “Penduduk yang kita sebut-sebut biadab sebetulnya hanya orang-orang yang hidupnya berpindah-pindah dari daratan rendah ke daratan yang tinggi atau sebaliknya…. Apa sesungguhnya mereka inginkan dari kita? Mereka hanya ingin satu hal: kita mengakhiri perluasan pemukiman yang melintasi dan merampas tanah mereka. Mereka ingin bebas bergerak di tanah mereka sendiri dan bersama suku mereka…. Serbuan-serbuan yang kita lakukan adalah tindakan yang sama sekali tidak didasari oleh kebenaran, yang kemudian disusul oleh praktik tindasan mahakejam yang ceroboh yang kemudian menyisakan luka yang amat dalam dan memerih lama dalam dendam. Dan herannya, itu semua kita lakukan untuk menjaga kehormatan Kerajaan….”

Renungan-renungan politik ras yang didaraskan Coetzee memang melontarkan gugatan yang hebat atas stereotip yang diusung rasialisme. Renungan itu memberikan semacam justifikasi argumen bahwa tindakan kekerasan yang tak tertahankan yang disumbangkan serdadu-serdadu Eropa di tanah kolonial, bukanlah suara kemarahan, bukan pula insting liar, juga bukan karena efek kekecewaan. Mereka hanya ingin menjadi diri mereka sendiri. Kaum pribumi berusaha menyembuhkan dirinya dari neurosis kolonial dengan merampas pemukiman melalui kekuatan bersenjata.

Tapi Coetzee memiliki beberapa perbedaan dengan anasir-anasir pribumi di tanah kolonial yang tiba-tiba saja berubah jadi monster dalam merespons kebiadaban praktik kolonialisme Eropa. Dalam novel ini misalnya, Coetzee tidak lupa membubuhkan beberapa titik kritik atas tradisi-tradisi pribumi yang memang masih belepotan nokhtah: kolot, bodoh, feodalis, tidak menghormati perempuan, pemabuk, pemalas, dan lain sebagainya. Artinya, Coetzee telah menempatkan dirinya sebagai manusia berpijak di tanah antara: di satu sisi ingin melakukan kritik atas praktik humanisme-rasis Eropa, sementara di sisi lain mendorong bangsanya sendiri untuk mengejar ketinggalannya di bidang pengetahuan dan kemakmuran.


DARI sudut pandang politik pascakolonial, kemenangan JM Coetzee atas nobel sastra, memang terkesan sebagai salah satu upaya “balas budi” Eropa atas kejahatan ras yang secara sistematis telah mereka timpakan atas orang-orang Afrika (Selatan). Namun di balik segala yang kulit-kulit itu ada pesan yang lebih luas dan penting. Pesan itu berbunyi: wacana rasialisme (plus sekutu utamanya: fasisme) belum sepenuhnya tutup panggung dari peradaban dunia. Dengan memakai zirah ideologi neoliberalisme, kaum-kaum neokonservatisme dari pelbagai negara menumbuhkembangkan bibit-bibit wacana rasialisme di kancah perpolitikan dunia di awal abad ini.

Sebut saja pemilihan Presiden Prancis 2002: Jean-Marie Le Pen, pemimpin partai konservatif radikal (French National Front) yang murni mengusung ide-ide rasialisme mengejutkan Eropa karena keberhasilannya menyodok di urutan kedua melampaui kandidat Partai Sosialis Perdana Menteri Lionel Jospin. Di Belanda, partai konservatif Kristen Demokrat yang dipimpin Pim Fortuyn, juga meraih peringkat kedua. Konon ia memiliki salah satu program utama meminta Belanda untuk menutup pintunya atas kehadiran para imigran, terutama Muslim yang dianggapnya berasal dari peradaban paria yang terkebelakang (Latif, 2003). Demikian pula di negara-negara lain: Denmark (Pie Kjaersgaard), Italia (Alessandra, cucu sang fasis Mussolini), Australia (koalisi John Howard dan Gubernur Jenderal Peter Hollingworth, mantan Uskup Anglikan Brisbane), dan Amerika (George W. Bush yang sangat dekat dengan pemuka-pemuka gereja konservatif, terutama Reverend Moon).

Maka hati-hati, hantu politik ras itu masih gentayangan!

No comments: