Tuesday, August 7, 2007

Kedai Pascakolonial Okri

Oleh Muhidin M Dahlan

Judul: The Famished Road
Penulis: Ben Okri
Penerjemah: Salahuddien Gz
Penerbit: Serambi, Jakarta, Juni 2007
Tebal: 846 halaman


Ben Okri membuka hulu novel The Famished Road dengan metafor sungai. Saya tak tahu apa yang ada di kepala Okri ketika menisbahkan sungai sebagai pembuka dari kisah panjangnya. Yang saya tahu bahwa sungai menjadi kawasan lahirnya peradaban-peradaban besar. Sungai Gangga melahirkan peradaban India (Maha Bharat). Sungai Nil melahirkan imperium Mesir di Afrika. Sungai Eufrat dan Tigris yang melahirkan peradaban Mesopotamia di jazirah Arab.

Betul bahwa sungai adalah jaminan kehidupan. Tapi sungai juga menyimpan enigma, labirin, larat teka-teki, duka-cita, dan berlapis-lapis misteri yang kadang tak sanggup dilerai oleh ikhtiar manusia. Di kelokan sungai itulah Okri melepas Azaro, seorang bocah ingusan yang coba menyabung takdirnya sebagai seorang abiku (anak-roh) di dua alam yang saling menarik secara tegas. Suara dan/atau ikhtiar Azaro tentang labirin dari sebuah jalan rupanya menjadi semangat yang ingin disusur novel ini.

Di halaman-halaman awal, Okri dengan cergas meletakkan beberapa ranjau pertanyaan yang menjadi teka-teki hingga hilir sungai penceritaan yang oleh karena itu ia terkesan sebagai pencerita yang lamban dan tak menggebu-gebu. Okri memang dikenal sebagai pencerita gaya baru Afrika. Rasional sekaligus magis. Visioner sekaligus tunak. Ia mahir menggambarkan seluk-beluk dunia batin Afrika. Kemahiran yang sama juga terasa tatkala ia menerangkan pergolakan politik yang berkecamuk.

Seperti halnya dalam permainan jumaji, Okri langsung menyeret kita ke alam gaib di rimba rohani Nigeria di mana latar kisah ini berlangsung. Di hutan itu kita akan segera bertemu dengan barisan rapat pohon-pohon iroko, baubalo, obeche serta burung dengan bulu kaki serupa rambut manusia, antelop berwajah biarawati, laki-laki tua di sarang semut, macan bersayap perak bergigi banteng, anjing-anjing berekor ular bercakar perunggu, kucing-kucing berkaki wanita, orang-orang cebol yang kepalanya penuh tonjolan, pohon yang berdiri mirip ekor banteng tak bertanduk, dan naga bertubuh gajah berwajah seekor warthog yang memakan manusia dan jiwa-jiwa yang tersesat.

Namun Okri tak mesti terlihat heroik memperlihatkan pertentangan ras yang keras dan pergesekan yang panas antara tradisi dan modernitas di benua Afrika. Okri lebih halus dalam mengurai konfrontasi antara dunia mistis (Afrika/Terjajah) dengan dunia potensial (Eropa/Penjajah) dengan intuisi seorang pencerita yang lihai dan sabar.

Dengan fasih Okri mengisahkan dunia mistis dalam tradisi Yakuba, namun tak jatuh sinis pada dunia potensial (kemodernan) yang disodorkan oleh tradisi Eropa, khususnya Britania Raya. Maka setelah para dukun yang dikoordinatori Mak Koto membebaskan Azaro dari roh-roh yang berdiam di rumah polisi yang mewah yang di dindingnya menggantung salib, Okri memindahkan latar dan konteks penceritaan di sebuah kedai tuak dan rumah Azaro yang reyot.

Okri yang kuat dan tunak dalam detail tak mesti menceritakan revolusi Biafra yang gigantik yang mengelilingi kehidupan keluarga Azaro yang melarat. Okri cukup menaruh Azaro di kedai tuak Mak Koto. Sebab di kedai kecil inilah panggung pascakolonial sesungguhnya yang kemudian menjadi pusat penceritaan.

***



Ibarat pipa, kedai tuak Mak Koto menjadi penghubung kehidupan rimba yang dihuni roh masa silam Azaro dengan dunia luar yang hiruk-pikuk, nilai-nilai modernitas yang berdesakan masuk, serta politik busuk yang memaksakan pengaruh.

Kedai ini merupakan pembayangan Okri atas Nigeria pascakolonial. Di sini lalar-lalar hijau mendenging-denging, kadal-kadal berkeliaran, dan muntahan tuak mengotori sebuntel kalender Coca Cola yang tergeletak di lantai dan tumpahan sup lada yang membasuh payudara perempuan berkulit putih yang membetot penuh dalam kain terbatas. (hlm. 383)

Walaupun kotor dan jorok, kedai tuak ini tetaplah alamat yang laris bagi siapa saja yang ingin merayakan hidup. Ia menjanjikan kesenangan dan sekaligus memperlihatkan situasi kekacauan pasca perang sipil yang membabar Nigeria. Pengunjungnya berasal dari pelbagai lapis masyarakat; mulai dari para pengusaha modern, kontraktor, eksportir, politikus berpakaian kaftan cerah, agbada, dan stelan safari, sampai dengan preman-preman, pengemis, dan pengkhianat partai. (hlm. 375)

Di kedai ini pula Okri leluasa melontar cemoohan pada kondisi politik Nigeria yang nekrofilik, agresif, rasialis di mana masyarakatnya dicabik-cabik kelaparan. Di sinilah Okri dengan muram berkata tentang apa arti lapar dan tuak bagi Afrika. (hlm. 67)

Tak cukup hanya soal politik nekrofilia, kedai ini juga menjadi tempat roh-roh bermata juling dan bengkak, berbibir besar dan lebam bermabuk-mabukan. Bersama roh albino dan roh berkepala tiga—dan bahkan roh berkepala empat—merancang rapat untuk membekuk Azaro untuk kembali ke asal-mula yang ditinggalkannya begitu saja demi cintanya kepada kemajuan dunia. Dan Azaro selalu menjadikan Mak Koto sebagai pelindung dan kedai sebagai pertahanan terakhir dari kejaran roh-roh itu.

Kehadiran sosok Mak Koto di sini tampaknya dimaksudkan Okri sebagai pawang tradisi. Dia adalah pagar, batas, dan rasionalisasi, sekaligus jembatan bagi Azaro untuk melihat dengan jernih bagaimana mesti berjalan ke depan dalam posisi menghadap ke rimba roh. Saya kira Mak Koto adalah The Last Mohican yang dipasang Okri sebagai “nurani” Nigeria yang menjaga tradisi dan masa silam (sebagai dukun), permisif secara sosial (mucikari), mesin politik (juru kampanye partai orang kaya), avant garde kemajuan ekonomi-teknologi (kedainya satu-satunya berlistrik dan orang pertama punya mobil kodok), serta pintu penghubung bagi bangsa-bangsa Eropa (bersekutu dengan para penginjil berkulit-berbaju putih).

Jika Mak Koto adalah representasi dari harmoni sosial-kultur dan pusat mesin politik, maka Bapak Azaro dipinjam Okri sebagai penutur secara terbuka bagaimana Nigeria berada dalam tekanan orang-orang dari ras putih. Kaum putih, misalnya, digambarkan tak ubahnya si raksasa jalanan yang kakinya melebihi pohon kelapa, kepalanya jauh lebih besar dari batu karang, perutnya seluas danau yang kalau kencing sumur jorok akan tercipta. Dan Sang Raksasa Jalanan itu susah matinya karena ia diasupi oleh semangat kapitalisme yang digawangi diktator-diktator lokal.

Bapak Azaro adalah arketip fisikal dari Afrika yang berwatak keras, pekerja yang gigih, tapi hidupnya tetap melarat. Ia memang menjadi petarung hebat dan mengalahkan dua petarung kampung yang paling digdaya dan sekaligus menumbangkan seorang lelaki tangguh mandraguna berbaju putih. Setelah mendapatkan secuil tenar, ia coba menaikkan mimpi menjadi kepala negara. Dibelinya buku-buku politik dari uang hasil taruhan berkelahi yang dibacakan oleh Azaro. Dengan pengetahuan pas-pasan itu dibikinnya partai tandingan dengan hasil yang sangat menyedihkan: cuma beroleh anggota 7 orang pengemis kudisan.

Sadar tak punya kuasa melawan politik-modal para tuan tanah, ia pun rebah dan hanya bisa mengais-ngais impian andaikan ia terlahir sebagai manusia kulit putih (hlm 734). Namun ia tetaplah lelaki Afrika yang mungkin saja bisa menjelajahi seluruh planet ini, tapi toh tak mampu bergerak satu inci pun.

***



Tak seperti Chinua Achebe dalam Things Fall Apart atau JM Coetzee dalam The Waiting for the Barbarians yang lantang mengutuk kebiadaban ras putih, Okri lebih memilih jalan moderat. Bukan berarti bahwa Okri tak tahu bahwa sudah ratusan tahun lamanya rezim kolonial mendistorsi sejarah Afrika sebagai sejarah yang diisi masyarakat barbar, primitif, dan animis. Dalam bahasa intelektual pascakolonial asal Aljazair, Frantz Fanon, kolonialisme tak puas sekadar mencengkeram buhul kepala penduduk yang dikoloninya dan mengisap tandas sari hidupnya.

Nah, menampilkan dunia animis sebagai pusat cerita dan sekaligus pembayangan masa depan menjadi strategi literer Okri untuk melumpuhkan cara pandang yang distorsif. Menyodorkan dunia roh Azaro di jantung literasi kolonial (Britania) adalah usaha membalikkan kesadaran kolonial menjadi sebuah studi pascakolonial yang memang kritis terhadap semua stigmatisasi yang meremehkan sejarah dunia ketiga, sebagaimana manusia Indonesia pernah dilabeli Eropa (Belanda) sebagai bangsa monyet dari kumpulannya terbuang.

Tiada cara lain yang bisa dilakukan Okri untuk merenggang ketegangan ras yang dijejali stereotip itu kecuali berucap: “Satu-satunya jalan keluar (orang kulit putih) dari Afrika adalah menjadi orang Afrika.” (hlm 813)

Maka keluarnya novel ini sebagai pemenang Booker Prize pada 1991 bisa dibaca sebagai jalan “orang kulit putih menjadi Afrika” sebagaimana dimaklumatkan Okri. Di luar dari itu, novel ini kiranya bisa ditera sebagai documentary meaning yang dirumuskan Karl Mannheim. Yakni, dokumen sosial politik (dunia potensial) dan ensiklopedi dunia roh (dunia mistis).

Cuma yang agak mengganggu dan menghantui saya adalah gambar Azaro di sampul novel ini. Kok lama-lama saya perhatikan kayak Pak Harto ya....

No comments: