Wednesday, July 25, 2007

Karena Menulis adalah Jalan Hidup

Oleh M Sulhanuddin

Judul: Menulis adalah Jalan Hidupku
Judul Asli: Call it Experience, The Years of Learning How to Write
Penulis: Erskine Cadwell
Penerjemah: Maufur
Penerbit: Bustan, Yogyakarta, 2007


Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

..................................................

Dikutip dari puisi "Aku" karya Chairil Anwar .


Barangkali sajak Chairil Anwar itulah yang cukup bisa menjelaskan sikap Erskine Cadwell ketika memutuskan meninggalkan karir jurnalistiknya di The Atlanta Journal demi menjadi penulis fiksi profesional. Seperti yang didapatkan setelah membaca sajak "Si Binatang Jalang" itu, kesan yang muncul dari sikap Erskine itu, dia adalah pribadi yang angkuh dan tak kenal kompromi. Baik Chairil maupun Erskine sepertinya tak mau berdamai dengan keadaan, sebaliknya mereka malah hendak menaklukkannya. Jelas saja keputusan Erskine itu membuat cemas beberapa rekan kerjanya.

Hunter Bell, redaktur di The Atlanta Journal, tempat Erskine mulai meniti karir jurnalistik profesionalnya, menasehatinya agar mengurungkan niatnya. Hunter memberikan gambaran sebuah masa depan suram bagi mereka yang tidak beruntung dalam hidup yang berharap dapat hidup, makan, dan berjalan di muka bumi tanpa memiliki pekerjaan tetap. Hunter berharap Erskine akan berubah pikiran.

Namun Skinny—begitu ia biasa disapa oleh rekan kerjanya-- sudah membulatkan tekad. Keinginnannya untuk melibatkan diri secara total dalam dunia penulisan kreatif tak bisa dicarikan tandingannya. Dan kini hasrat itu harus disalurkan, ia harus segera dituntaskan, entah apapun keadaannya.

Sebenarnya jika dirunut keputusan nekad Erskine itu terpicu oleh Peggy Mitchel, seorang perempuan dengan personalitas menarik dan memiliki wajah cantik menurut ukuran Erskine, yang rela meninggalkan karir jurnalistiknya setelah bekerja selama sepuluh tahun di The Atlanta Journal. Bagaimanapun Peggy berhasil menerbitkan bukunya Gone With The Wind. Erskine mengaguminya karena kepercayaan dirinya untuk melepas pekerjaan demi menulis sebuah buku. Dia bertanya pada dirinya sendiri, mampukah aku suatu saat membuat keputusan serupa?

Maka siang itu, setelah ia menerima jamuan makan dari Fred Houser, manajer The Atlanta Convention and Tourist Bureau, atas liputannya yang memuaskan, dia menegaskan keputusannya untuk menjadi penulis fiksi profesional. Ia ingin membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa dirinya juga bisa hidup dari menulis fiksi.



Akhir pekan ia meninggalkan Atlanta menuju Negara Maine, sebuah tempat yang jauh dari peradaban kota. Pedesaan dengan perbukitan yang mengombak oleh beragam pepohonan rindang, padang rumput yang lebat memagari sungai-sungai kecil berliku, menjadi hunian barunya. Ia berpikir tempat ini sangat cocok untuk menulis.

Musim panas segera berakhir, ia mulai mengumpulkan kayu untuk perapian di musim dingin. Ia mananam kentang di ladang untuk di makan. Siang hari ia habiskan di ladang dan mengumpulkan kayu, malamnya ia menulis, sisanya untuk istirahat. Secara matematis, 24 jam dalam sehari ia habiskan 8 jam untuk bekerja, 8 jam untuk menulis, dan sisanya 8 jam untuk beristirahat.

Belasan, hingga puluhan cerita pendek telah ia tulis dengan mesin ketik butut yang ia beli dari hasil memeras keringatnya menjadi buruh kasar di pabrik minyak biji kapas ketika dirinya masih duduk di bangku setingkat SMU. Ia bekerja di malam hari, berangkat ketika orang di rumah mulai tertidur dan kembali dengan mengendap-endapkan langkah kakinya agar orang di rumah tidak terbangun dan mengira ia tertidur pulas semalaman. Sebentar kemudian dia bergegas berangkat ke sekolah.

Sebenarnya penghasilan ayahnya sebagai pastor di gereja di dekat tempat tinggalnya sudah mencukupi. Namun karena keinginannya untuk bekerja, membuatnya mau bekerja apa saja. Semasa sekolah ia melakukan pekerjaan apa saja, menjual koran, menjadi juru ketik, menulis berita didaerahnya untuk beberapa surat kabar. Rupanya minat menulisnya tanpa disadari mulai tumbuh. Ketika kuliah di Universitas Virginia dia melanjutkan minat menulisnya dengan menjadi kontributor untuk beberapa surat kabar.

Ia mulai mengirim cerpen-cerpennya ke beberapa surat kabar. Namun tak satupun dimuat. Ia sudah cukup senang ada satu-dua yang memberikan penjelasan alasan penolakan. Kegiatan ini terus dilakukan, mengirim cerpen, dan mendapati surat penolakan, hingga surat-surat itu menumpuk. Diam-diam memandangi tumpukan surat penolakan dan membacanya menjadi kenikmatan yang tak bisa ia jelaskan.

Seorang redaktur menyarankan agar dia meniru cara menulis para penulis yang sedang populer. Seorang redaktur lain menyarankan agar dia menekuni bidang pekerjaan lain mengingat bisnis surat kabar yang tidak menentu akibat krisis yang sedang melanda Amerika, sehingga peluang untuk menulis cerpen semakin sempit. Komentar-komentar itu dibacanya, diambil seperlunya agar ia tak sakit hati dibuatnya.

Dengan persediaan uangnya yang mulai menipis ia masih butuh membeli perangko untuk mengeposkan surat, membeli beberapa batang rokok, kopi dan gula untuk teman mengetiknya di malam-malam hari. Dia bertekad menjual buku-bukunya yang dikumpulkan dari hasil menjadi pereview buku di The Atlanta Journal. Koleksi bukunya mencapai ratusan, dan kebanyakan adalah novel dan kumpulan cerpen. Ia pergi ke kota, mengunjungi tempat penjualan buku bekas hingga akhirnya bertemu kenalan yang menawarinya untuk menjalankan bisnis buku.

Bersama kawannya ia membuka kios buku. Buku-buku koleksinya dan beberapa buku tambahan dari agen penerbit ditata di rak. Namun bisnis buku ini bukannya menghasilkan tapi malah membuatnya makin terlilit hutang. Ia sudah kehabisan akal bagaimana untuk mendapatkan uang. Yang jelas dia hanya ingin menjadi penulis, bukan berbisnis buku.

Dia berjanji kepada dirinya sendiri, pekerjaan apapun, diluar menulis, dilakukan hanya untuk sementara dan semata-mata untuk tujuan bertahan hidup, memiliki tempat tinggal, dan berpakian layak.

Seorang teman lama mengajaknya ke suatu tempat, yang kemudian dia tahu tempat yang dituju itu adalah bank. Pegawai bank menanyakan jaminan apa yang dapat diberikan Erskine, kapan dia sanggup mengembalikan pinjaman. Erskine tak punya jaminan yang cukup bernilai, kecuali sebuah mobil tua dan mesin ketik usang. Temannya meyakinkan pegawai bank kenalannya itu bahwa Erskine adalah seorang calon penulis. Dia serius ingin menjadi penulis, dan kelak bukunya akan diterbitkan. Pegawai bank yang mengaku sebenarnya juga ingin menjadi penulis itu mengangguk dan segera menyuruh stafnya mencairkan pinjaman sebesar $1000.



Erskine pasti sudah memperhitungkan keputusannya meninggalkan pekerjaan demi menjadi penulis fiksi profesional. Godaan akan selalu menghantui bagi siapa saja yang mengambil keputusan seperti dirinya, yang hendak menjadikan aktivitas menulis sebagai jalan hidup, sementara hasil menulis sebagai mata pencaharian tak kunjung terpenuhi.

Mental sekuat baja, tak bisa ditawar, harus dipersiapkan agar mampu menjalani masa-masa yang paling sulit, masa di mana tiada jaminan finansial yang memadai. Jika tidak, ia akan tergoda untuk mengalihkan perhatiannya kepada pekerjaan yang bagi kebanyakan orang lebih rasional, pekerjaan yang lebih bisa menghasilkan uang. Dan keinginan menjadi penulis fiksi profesional menjadi angan-angan yang lebih layak untuk ditertawakan.

Memang Erskine pada akhirnya dapat memetik hasil jerih-payahnya. Perlahan-lahan cerpennya mulai dimuat di koran kecil, hingga menembus Scribner’s Magazine, sebuah keinginan yang sudah dinanti-nantinya menaklukan media yang memiliki distribusi luas.

Kumpulan cerpennya yang diberi judul American Earth dibukukan. Tak lama kemudian menyusul novel perdananya Tobaco Road, yang terinspirasi dari sebuah kehidupan di perkampungan miskin di dekat tempat tinggalnya, sebuah jalan yang dibuat dengan menggelindingkan tong yang diisi tembakau yang diawetkan. Untuk pertama kalinya, ia menerima bond royalty dari penerbitan buku.

Hingga novel God’s Littele Acre yang menurutnya paling memuaskan, You Have Seen Their Faces, dan novelnya Tobaco Road yang telah dipentaskan lebih dari tujuh tahun, hasil royalti yang diterimanya tidak bisa dibilang telah cukup membuatnya menjadi seorang yang terbebas dari masalah keuangan. Penghasilan darinya waktu itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan sehari-harinya, bahkan masih kurang untuk gaya hidupnya yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia memang gemar sekali mengunjungi tempat-tempat baru, menjelajahi seluruh kawasan benua Amerika, bahkan dunia. Kondisi finansialnya baru dikatakan lebih membaik setelah dia menjadi penulis skenario untuk film di MGM, yang menggajinya $3000 per minggu, penghasilan tertinggi yang pernah di terima sepanjang hidupnya.

Berapapun jumlah penghasilan yang didapatkannya dari menulis fiksi, setidaknya dia sudah mewujudkan keinginannya untuk menerbitkan karyanya di surat kabar, kumpulan cerpen dan novel-novelnya sudah dibukukan. Selama penghasilannya dari menulis fiksi belum bisa untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, maka dengan sadar ia pun akan melakukan pekerjaan lain demi mewujudkan ambisinya. Kini kerjanya sudah membuahkan hasil. Namanya disandingkan dengan John Steinbeck , William Faulkner, dan pengarang terbaik Amerika lainnya.



Menyimak perjalanan hidup Erskine ini, sama seperti saya, barangkali anda akan mengajukan pertanyaan, kenapa dia bersiteguh ingin menjadi penulis fiksi professional, kenapa tidak menjadi bankir, atau melakukan pekerjaan lain yang lebih mudah menghasilkan uang.

Dalam buku Menulis adalah Jalan Hidupku yang diterbitkan oleh Penerbit Bustan Yogyakarta, diuraikan secara rinci perjalanan menulis Erskine Cadwell. Buku yang ditulis sendiri oleh Erskine ini di dialihbahasakan dari buku Call it Experience, The Years of Learning How to Write.

Diakuinya, keputusan Erskine menjadi penulis fiksi profesional karena dirinya suka menulis, dan tak yakin bisa melakukan pekerjaan lain selain bidang ini. Oleh karena itu, ia ingin menjadikan menulis sebagai penopang hidupnya. Ia menganggap apa yang dikerjakanya sebagai hal yang wajar, karena baginya semua pilihan pekerjaan membutuhkan ketekunan. Begitu juga dengan menulis.

Kalaupun ada seorang yang hendak menjadi penulis, namun ditengah jalan menemukan alasan yang menurutnya lebih logis untuk melakukan pekerjaan lain, berarti memang dia tidak punya modal yang cukup untuk menjadi seorang penulis. Pada akhirnya tingkat intensitas keadaan pikiranlah yang menentukan kesuksesan atau kegagalan seseorang dalam profesi yang diinginkannya.

Menulis fiksi dipilihnya karena cerpen atau novel adalah cermin bagi orang-orang. Ia mendefinisikan cerpen atau novel sebagai cerita imajiner bermakna yang cukup menarik perhatian pembaca dan cukup mendalam untuk meninggalkan kesan abadi dalam pikirannya.

Ia menampik anggapan bahwa untuk menjadi seorang penulis seorang harus miskin dulu agar cocok dengan dunia kepenulisan. Yang dibutuhkan adalah semangat keuletan yang dapat melecut orang untuk berjuang keras mengatasi setiap penghalang menuju kesuksesan.

Ia pun tak menganjurkan siapa saja yang hendak menjadi penulis untuk meninggalkan pekerjaan utamanya. Ia mengambil contoh banyak penulis ternama yang bukan penulis profesional. Banyak karya bermutu yang dihasilkan oleh mereka yang dipaksa untuk melakukan pekerjaan rumah setiap hari atau menjalankan bisnis dalam lima atau empat hari dalam seminggu. Ketika menulis sudah menjadi hobi, maka siapapun akan menyempatkannya. Dan seperti hobi-hobi yang lain, menulis bisa dikerjakan tanpa harus meninggalkan pekerjaan utama.

Keputusannya meninggalkan karir jurnalistiknya bukan karena keterampilan menulis jurnalistik bertentangan dengan menulis fiksi. Sebaliknya, menulis jurnalistik justru yang mengantarkan minatnya dalam dunia tulis-menulis. Belajar menulis dengan bentuk apapun tak ada yang merugikan. Dari pengalamannya, menulis jurnalistik membantunya untuk membiasakan diri menulis setiap hari. Menunggu inspirasi adalah pernyataan yang jarang sekali dijumpai di kalangan wartawan yang terlatih.

Anda boleh saja menganggap apa yang dilakukan oleh Erskine itu sebagai sesuatu yang mengada-ada, sesuatu yang berlebihan yang sebenarnya mudah tapi dibuat sulit oleh dirinya sendiri. Namun bagi anda yang saat ini sudah memutuskan diri menjadi penulis profesional, baik itu fiksi maupun non fiksi, sedikit banyak pasti sudah melewati masa-masa itu. Hanya saja intensitasnya mungkin berbeda. Anda bisa saja lebih beruntung ketimbang Erskine yang menempuh karir menulis profesioanlnya dengan berdarah-darah. Jika anda menyadari ini, maka anda akan bersyukur bahwa ternyata ada yang lebih menderita dari anda.

Pada akhirnya hidup adalah pertaruhan. Maka saya dan juga anda harus berani memilih dan tegas mengambil tindakan. Profesi apakah yang sebenarnya anda inginkan. Apakah anda lebih mencintai menulis dari kesenangan-kesenangan anda yang lain? Jika iya, maka teruslah berjuang. Contohlah semangat menulis kedua "binatang jalang" Chairil dan Erskine. Percayalah, setiap usaha pasti ada hasilnya. Good Luck!
[+baca-]

Monday, July 23, 2007

Kalian Mau Jadi Penulis atau Pengeluh?

Oleh Muhidin M Dahlan

Judul: Chicken Soup for the Writer’s Soul
Penulis: Jack Canfield, Mark V Hansen, Bud Gardner
Penerjemah: Rina Buntaran
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2007
Tebal: 201 halaman


Ada seorang profesor berkata kepada seorang penulis partikelir: “Semua sudah pernah ditulis, dan ditulis dengan lebih baik daripada kamu bisa melakukannya. Jika kamu berniat menulis tentang cinta, tragedi, dan petualangan... lupakan saja, karena semua itu sudah dilakukan Shakespeare, Dickens, Tolstoy, Flaubert. Kecuali jika kamu mempunyai sesuatu yang benar-benar baru untuk dikatakan, jangan jadi penulis. Pelajarilah akuntansi!”

Atas komentar seperti ini, sastrawan kelahiran Chicago, Irving Wallace (1916-1990), gusar dan membentak: “Kata-kata ini konyol, benar-benar bodoh. Bukankah setiap emosi tak pernah persis sama. Bukankah tak pernah ada yang melihat cinta atau merasakan benci persis seperti kau melihatnya.”

Kisah itu adalah salah satu semangat pembangkit energi menulis yang tersaji dalam buku Chicken Soup for The Writer’s Soul ini. Ada 42 kisah yang sama yang coba membekap energi negatif yang menghalangi seseorang menjadikan menulis sebagai profesinya. Ditulis bergaya esai pendek dan dengan bahasa yang menggugah. Mungkin pembaca Indonesia tak terlalu akrab dengan nama-nama di dalamnya dan buku-buku mereka, tapi semangat mereka menjadikan menulis sebagai profesi adalah semangat para ksatria di medan tempur dan patut ditauladani.

Sedari awal saya sudah haqqul yaqin bahwa sebagai sebuah profesi jelas menulis bukan jalan main-main. Diperlukan sabuk pengaman yang ketat agar tak terhempas terbuang. Betapa banyak penulis yang hanya berkoar-koar ingin ingin dan ingin menulis. Tapi lebih banyak lagi yang terantuk sedikit saja terus meringis cengeng. Mereka mengeluh tak bisa menulis karena kesibukan ini dan keruwetan itu.

Salahkah mengeluh? Tentu saja tidak jika diartikan bahwa keluhan dan kecengengan itu hanya sebuah usaha menghilangkan katarsis atau ketertekanan diri oleh virus block writing. Tapi ada juga yang kerap menjadikan mengeluh sebagai pekerjaan utama. Dia lebih banyak mengeluhnya daripada terus menerobos kesulitan menulis. Nah, jika kesibukan mengeluh itu yang membuat mereka depresi lalu lumpuh, itu namanya penyakit. Dan pastilah menulis lebih banyak berhenti pada angan-angan.

Tipe manusia seperti ini yang membuat masygul Carmel Bird, penulis buku Dear Writer: The Classic Guide to Writing Fiction. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa menulis itu perkara gampang-gampang saja. Bagi Bird, menulis itu memang menyenangkan. Namun bukannya tanpa risiko. Bahkan bisa dibilang menulis adalah ritual antikeluarga dan antisegalanya. Untuk itu, penulis kelahiran Tasmania itu menekankan lajur keberanian untuk tetap bisa menulis dan ngotot mengesampingkan pekerjaan rumah tangga, kehidupan sosial, mengesampingkan hal-hal yang menghambat dalam menulis. “Jika Anda ingin aman dan terbebas dari bahaya dan gangguan, jangan menulis...,” tegas Bird.

Nyaris saja Cristine Clifford bunuh diri setelah tahu bahwa semua keluarganya terserang kanker. Tapi impiannya menjadi penulis komik terkenal yang kemudian menyelamatkan kesuraman hidupnya. Di tengah derai kesedihan yang menyayat hati dan maut menguntit raga, dia pindah dari satu toko buku ke toko buku lainnya hanya untuk mengejar mukjizat. Dia juga dikatai gila oleh penjaga toko ketika menanyakan buku komedi tentang kanker. Dia ingin mencari tahu barangkali ada selapis tipis lelucon dalam kesakitan kanker itu. Usaha yang melelahkan itu berbuah hasil. Kedua bukunya yang ditujukan untuk anak-anak—Not Now... I’m Having a No Hair Day! dan Our Family Has Cancer, Too!—memenangkan penghargaan dan mendapat sambutan internasional.

Mungkin kalian tak mengenal nama Alexander Murphy Palmer Haley (1921-1992). Tapi kalau disebutkan judul buku The Autobiography of Malcomm X, pastilah kenal. Alex-lah penulis buku masyhur itu. Tapi buku Roots yang justru melambungkan namanya dan diganjar Pulitzer Prize pada 1977. Tapi nyaris tak banyak yang tahu bagaimana Alex memulai semua itu sebagai putera imigran Tennesse yang jadi budak di geladak kapal, sesekali membantu para pelaut menuliskan surat cinta mereka buat perempuan-perempuan di darat, dan dihinakan karena berkulit gelap. Tapi dia tak tertekuk walau dipanggil oleh tentara neo-Nazi sebagai simpanse dalam sesi wawancara untuk majalah Playboy. Buku Roots dikerjakannya selama 12 tahun untuk meriset genealogi leluhurnya, Kunta Kinte, dan ditolak oleh banyak penerbit sebelum sukses dan dia menjadi pembicara paling ditunggu. Ketenarannya mungkin setara dengan Oprah Winfrey saat ini.

Nyatalah bahwa menulis berarti sebuah laku ketekunan. Bahkan untuk menulis tentang koboi saja, penulis prolifik yang telah menulis 300 buku fiksi, Chet Cunningham, mesti ke toko buku dan memborong 25 novel koboi. Dari novel-novel itu dia mencatat kata-kata dan berbagai frase yang lazim dipakai di era dan dunia koboi, seperti permainan senjata api koboi kuno. Dengan cara itulah Cunningham menciptakan tokoh dan karakter yang unik di novelnya Bushwhacker on the Circle K.

Adalah Patricia Lorenz pada September 1992 nekad meninggalkan pekerjaannya yang telah memberinya gaji yang pantas selama bertahun-tahun. Awalnya dia nyaris gila karena menulis ternyata tak seromantik yang dia bayangkan sebelum kunci itu ditemukannya. Bahwa, walaupun bekerja di rumah, menulis juga butuh disiplin dan keberanian untuk jangan nonton TV. Dia menyusun jadwal hariannya dan disiplin melaksanakannya: 8 kilometer naik sepeda selama lima hari, setiap hari minum lima gelas air, lima menit membaca kitab suci, lima artikel dibaca setiap hari, dan lima artikel diposkan setiap minggu.

Pada akhirnya dengan ketekunanlah dan bukan tabiat lebih suka mengeluh ketimbang memaksakan diri bekerja sampai titik keringat penghabisan, profesi menulis bisa menjadi sandaran utama kehidupan.

Di Indonesia, menyandarkan hidup dari menulis mungkin masih barang asing dan pilihan yang terkesan nekad. Tapi buku ini sudah menunaikan tugasnya untuk memancing kita merancang kerja kepenulisan sebagai sebuah karier yang menantang dan sekaligus menakjubkan.
[+baca-]

Saturday, July 21, 2007

Ke Mana itu Anjing-Anjing Penjaga

Oleh AN Ismanto

Judul: Anjing Penjaga: Pers di Rumah Orde Baru
Penulis: Omi Intan Naomi
Penerbit: Gorong-Gorong Budaya bekerjasama dengan Institut Studi Arus Informasi
Cetakan: Pertama, Juni 1996
Tebal: xxiv + 427 halaman


Dengan menggunakan metafora anjing penjaga, Omi Intan Naomi hendak menyatakan bahwa pada hakikatnya pers tak ubahnya seekor anjing penjaga, yang diadakan demi keamanan dan ketenteraman. Walhasil, tugas pers sama dengan anjing penjaga. Sehingga, jurnalis, sebagaimana intelektual, adalah “elit strategis” (Suzanne Keller) dalam keriuhan jagat perpolitikan suatu masyarakat.

Tugas anjing penjaga adalah menggonggong, atau bahkan menggigit, jika ia mencium isyarat ketidakamanan di suatu lingkungan. Pers pun harus menyuarakan isyarat-isyarat ketidakberesan, jika ada, dalam lingkungan di mana pers hidup, yaitu masyarakat. Namun, kenyataannya pers kerap mendapat hambatan ketika ia harus melaksanakan tugasnya—sejarah pers Indonesia mencatat pelbagai pembredelan dan tindakan anti-pers.

Buku ini merupakan jelmaan dari skripsi sarjana Omi Intan Naomi pada 1994 di jurusan Komunikasi Universitas Gadjah Mada. Namun jangan berkerut dulu, karena buku ini sudah disulap sedemikian rupa dari bentuk skripsi yang (biasanya) kaku dan kikuk. Buku ini dipotong menjadi artikel-artikel pendek dengan bahasa-bahasa yang plastis yang menjadi kekhasan esai-esai budaya Omi Intan Naomi. Di buku ini, hubungan antara pers dan kekuasaan dibentangkan.

Halaman-halaman pertama buku ini menelisik kebebasan pers, yang menjadi landasan demokratis dalam kapasitas pers sebagai penjaga. Terma itu berhulu pada “kebebasan” dan “pers”. Kebebasan bisa diartikan sebagai kemampuan eksistensial manusia untuk menentukan diri sendiri, atau kemampuan untuk memilih satu dari sekian alternatif tindakan yang tersedia (hal. 7). Sedangkan ketidakbebasan adalah kondisi di mana terdapat upaya untuk membatasi pilihan atau menutup alternatif tertentu hal. 8).
Dalam konteks bernegara, kebebasan menjadi entitas yang positif, sehingga konstitusi wajib menjaminnya. Dengan begitu, peraturan dan etika tidak akan masuk akal keberadaannya jika tidak ada kebebasan.

Namun, kebebasan bukan saja bebas dari sesuatu. Bila orang menginginkan kebebasan, maka ia juga harus memikirkan mau apa kalau ia sudah bebas (hal. 6). Sementara itu, keberadaan pers dirunut balik dengan logika bahwa dalam suatu tertib masyarakat, ada sistem sosial dan sistem komunikasi. Pers adalah bagian dari sistem komunikasi tersebut (hal. 11). Seturut peraturan MPRS, tanggung jawab pers adalah kebebasan untuk menyatakan serta menegakkan keadilan dan bukan kebebasan dalam pengertian liberalisme. Dalam Sidang Pleno Dewan Pers pada 1984, disepakati bahwa pers nasional adalah pers Pancasila, pers pembangunan, dan pers sehat yang bebas dan bertanggung jawab.

Fungsi-fungsi kebebasan pers, menurut Sumono Mustofa, ada enam.

Pertama, fungsi pendidikan dalam arti seluas-luasnya, terutama tentang pelaksaan pembangunan, makna dan prosesnya. Kedua, fungsi penerangan, memberikan informasi kepada publik. Ketiga, memberikan hiburan, gairah hidup, dan optimisme. Keempat, mendorong kegiatan budaya dalam arti luas. Kelima, melakukan kontrol sosial dalam semua bidang, menerapkan prinsip komunikasi dua arah antara pemerintah dan rakyat. Keenam, fungsi sarana modernisasi. Kebebasan dan fungsi-fungsi itu di Indonesia, dalam kenyataanya, kerap mendapat hambatan. Kebebasan pers, sebagai syarat mutlak masyarakat yang demokratis, ditentukan oleh hubungan kekuasaan dan pers. Kebebasan pers Indonesia diukur berdasarkan keterbukaan media dalam mengungkap informasi yang berkaitan dengan pemerintah.

Padahal, dalam melaksanakan tugasnya sebagai penjaga, pers kerap harus mengguncang sistem politik yang berlaku. Sedangkan sikap Orba terhadap kritik dan oposisi menuruti pemikiran Jawa, adalah: “berhadapan dengan kekuasaan, penilaian moral harus diam”.

Pers Indonesia memperlihatkan sikapnya terhadap kekuasaan dalam rubrik yang biasanya berjudul Tajuk Rencana. Rubrik ini menjadi ukuran untuk melihat posisi suatu media dalam konstelasi politik negara. Sikap media, ternyata, juga tidak selalu tetap. Ibarat orang, media pun bisa plin-plan.

Omi pun tergerak untuk melihat secara lebih dekat bagaimana gejala “galak”-nya mass media terhadap pemerintah pada masa-masa sekitar kejatuhan Orla, seperti yang terbaca pada tajuk-tajuk rencana Kompas dan Suara Karya serta beberapa mass media lain.

Namun, setelah beberapa tahun, rubrik yang sama seringkali berkurang kadar galaknya, seperti tajuk-tajuk Kompas, yang menjadi lebih halus dan “kompromistis”—sehingga ia masih bisa terbit. Sedangkan Suara Karya menjadi sangat lembut terhadap pemerintah Orba. Ini bisa dimaklumi, karena ia adalah corong Golkar, yang notabene organ sosial politik—bukan partai—yang menguasai parlemen dan eksekutif.

Pemerintahan Orba mesti diakui berhasil membentuk kondisi otoriter. Dalam kondisi itu, terdapat ideologi nasional yang selalu memihak pemerintah, pancaran legitimasi (pemilu), dan ormas sebagai perantara rezim dan rakyat. Sehingga, pers dalam negara otoriter menghirup udara yang kurang lebih sama dengan warga negara perseorangan. Ia kekurangan oksigen bila menyempal dari mesin besar rezim penguasa (hal. 36).
Walhasil, pers berubah menjadi pers otoriter. Pers otoriter memromosikan tata kemasyarakatan politik yang berlaku, antara lain dengan istilah-istilah yang akrobatik seperti “stabilitas yang dinamis” dan “dinamika yang stabil”. Jurnalis ditugasi menghubungkan lidah penguasa dengan telinga rakyatnya. Jurnalisme dan persnya hanya berfungsi sebagai kurir dan kebebasannya dibatasi, bahkan ditebang.

Dalam catatan sejarah pers kita, hanya ada dua periode masa-masa ideal kebebasan pers di Indonesia, keduanya berbau liberal, yaitu Proklamasi 1945 hingga awal Demokrasi Terpimpin, dan akhir Soekarno hingga Pemilu 1971 (hal. 142). Kebebasan pers sama sekali lenyap pada akhir pemerintahan Soekarno. Baru setelah Orla tumbang, pers bisa sedikit lega. Namun, bulan madu itu tidak lama. Orba pun memraksiskan ulang pembatasan atas kebebasan pers.

Pembredelan massal pada masa Orba bermula pada sekitar Pemilu 1971, di mana 52 penerbitan dilarang terbit. Lalu, berturut-turut pada 1972 dibredel, 50 penerbitan, 1973 32 penerbitan, Malari 1974 73 penerbitan, 1981 24 penerbitan, 1990 kasus Monitor 36 tindakan anti-pers.

Otoriterisme Orba tampak jelas dalam alasan pencabutan pencabutan SIUPP beberapa mass media. Pada 1986, Sinar Harapan dibredel karena menurunkan berita “Pemerintah Akan cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor”. Editor diganyang karena berita mutasi besar-besaran di Kejagung, Detik terkait dengan buku Primadosa dan Presiden Ketiga, majalah Tempo melaporkan pembelian kapal-kapal perang bekas Jerman Timur, dan Jakarta-jakarta karena foto sampul dan serial foto “Bikini Kuda Binal” dan “Parade Kuda Binal”. Namun, ada juga tindakan anti-pers yang dilakukan oleh masyaakat, seperti pada kasus Monitor dan lawatan empat orang jurnalis ke Israel.

Ada dua alternatif penyikapan kepada pembredelan itu, yaitu melalui jalur hukum dan pendekatan atau musyawarah (hal. 96). Jalur hukum lebih jarang ditempuh, meski ada, karena meminta energi dan resiko yang besar. Yang lebih kerap digunakan adalah pendekatan, atau musyawarah, di mana pihak terbredel melakukan kompromi dengan pemerintah.

[+baca-]

Wednesday, July 18, 2007

Si Terkutuk yang Jarang Dibaca

Oleh Muhidin M Dahlan

Judul: Kapital (Buku I dan Buku II)
Judul Asli: Das Kapital: Kritik der politischen Oekonomie
Penulis: Karl Marx
Penerjemah: Oey Hay Djoen
Penerbit: Hasta Mitra, 2004 (Buku I) dan Hasta Mitra-Ultimus-IGJ, 2006 (Buku II)
Tebal: lvii+929 halaman (Buku I) dan 580 halaman (Buku II)


Secarik surat melayang kepada Karl Marx. Pengirimnya Penerbit Leipzig. Isinya pemberitahuan, peringatan, atau boleh juga ancaman: “Herr Doctor yang Terhormat: Anda telah 10 bulan terlambat dari waktu yang telah disepakati untuk menyelesaikan buku Das Kapital, yang telah Anda sepakati untuk diterbitkan di penerbit kami. Jika kami tak terima naskah itu dalam 6 bulan ini, kami harus menugaskan penulis lain untuk menulis buku ini.”

Barangkali karena desakan itu Mbah Jenggot atau Marx menjadi mirip seorang rahib yang bertapa di perpustakaan London, The British Museum, yang sunyi dan dingin untuk merampungkan naskah yang terbengkalai; padahal uang kontrak sudah habis dikonsumsi, sementara para penagih utang terus merecoki konsentrasinya. Ia tak peduli waktu dan lupa diri melakukan penjelajahan di lipatan-lipatan koran, di baris-baris buku tebal, di lembar-lembar buletin-buletin, dan teks-teks pidato. Ia juga bahkan lupa anak-istri di rumah.

Pengerjaan buku setebal bantal ini memang memakan tumbal. Tiga dari enam putranya meninggal di usia kanak-kanak, sementara sisanya lagi mati bunuh diri karena tak kuat memundaki kemelaratan. Praktis dalam sisa-sisa hidupnya yang heroik (bagi pemujanya) Marx hanya menggantungkan asap dapurnya pada sahabatnya Friederich Engels yang dilembar khusus Das Kapital disapanya “Fried sayang”.

Tapi pengabaian keluarga yang tak bertanggung jawab itu melahirkan berjilid-jilid buku. Namun ia hanya menyelesaikan jilid pertama karya itu, sementara jilid 2 dan 3 diselesaikan Engels dari serpihan tulisan tangan kumal yang susah dibaca. Sementara Karl Kautsky menyusun kembali catatan Marx tentang sejarah teori nilai lebih yang disebut-sebut sebagai jilid keempat Das Kapital.



Saya punya keyakinan sampai akhir hayatnya Marx itu bukan juru pidato yang mempesona, walau pada usia 30 tahun ia sudah menuliskan The Communist Manifesto (1848) yang dahsyat itu. Buku risalah ekonominya ini tak tulis di tengah-tengah kesibukan gerilya atau di hadapan massa yang haus akan semangat dan dorongan revolusioner.

Tak ada khotbah di sini, sebab kita akan dituntun dalam kelokan meliuk-liuk yang kalau kehilangan kendali akan pusing kita dibuatnya. Tak saja karena tebalnya, tapi juga cara pemaparan Marx yang bertele-tele. Bila Stephen Hawking terpaksa memasukkan satu-satunya rumus E=mc2 dalam adikarya astronominya dengan permohonan maaf kepada pembacanya terlebih dahulu, maka Marx memasukkan angka-angka itungan semau-maunya.

Karena sepenuhnya ilmiah, maka yang gaib-gaib musykil ditemukan di sini. Apalagi anjuran membenci agama sebagaimana yang selalu dinisbahkan kepada Marx selama ini. Buku ini adalah risalah ekonomi yang diaduk dengan bumbu filsafat, humanisme, kerja, dan hitungan pelik akumulasi modal. Campur baur itu semua (quid pro quo).

Kitab Suci Buat Buruh

Buku ini adalah respons dan koreksi serius dari para pemikir sosialisme awal seperti Claude Henri Saint Simon (1760), Robert Owen (1771-1858), Charles Fourier (1772-1837), maupun Wilhem Wailting (1808-1871) yang meniscayakan tentang keadilan dan keharusan memberontak terhadap kaum kapitalis ketimbang menyiapkan suatu paket analisis terlebih dahulu atas situasi penderitaan kaum buruh. Ia juga menubruk cara berpikir Hegel yang mendewa-dewakan ide ketimbang aksi materi.

Sejak awal memang pokok perhatian Marx sesungguhnya adalah konsep tentang relasi-relasi antarmanusia dalam proses produksi. Ia berkeinginan kuat membuktikan secara ilmiah bahwa kapitalisme semata-mata proses eksploitasi terhadap buruh.

Karena itu bab 1-9 adalah usaha Marx membabat teori-teori kapitalisme klasik dan dilanjutkan dengan menampangkan foto negatif bagaimana sistem itu bekerja (bab 10-33). Sementara pada Buku ke-2 hanya berupa penekanan-penekanan materi yang sudah dibahas pada Buku ke-1.

Poin penting pertama yang diusung Das Kapital adalah teori nilai lebih setelah sebelumnya ia membuka risalah ini dengan menyasar definisi komoditas dan posisi pemilik modal dan buruh. Sesuatu disebut komoditas bila di dalam dirinya hadir secara sekaligus antara bentuk objek yang berguna (naturalform) dan nilai (wertform). Komoditas ini yang kemudian menjadi kompas penentu ke mana gepokan uang mengalir dan bagaimana nilai lebih ditafsir oleh penguasa modal.

Uang hanya alat. Komoditas yang menggerakannya. Sementara nilai adalah pembenarnya. Maka kapitalisme, kata Marx, dengan licik menjadikan pekerja sebagai komoditas; berbaur tak bedanya dengan kepemilikan alat-alat produksi seperti bahan mentah dan mesin-mesin perkakas. Agar komoditas itu bisa digerakkan mengeruk uang, maka ia dikuasai. Dititik inilah proses alienasi buruh berlangsung yang hanya bisa dipecah dengan aturan-aturan yang revolusioner.

Salah satu poin penting Das Kapital adalah menempatkan kerja sebagai usaha mulia. Kerja, bagi Marx, adalah mediasi antara alam dan manusia; sekaligus penanda dimensi eksistensial manusia yang konkret. Pandangan ini kemudian menjadi pemahaman utuh tentang kemanusiaan yang emansipatoris.

Hubungan ekosistem itu kemudian menjadi rusak ketika pemilik modal melakukan eksploitasi kerja kaum buruh di luar proporsinya. Dengan dikuasai, kebebasan manusia/pekerja dirantai; dan itu jelas bertentangan dengan nilai kemanusiaan emansipatoris. Di sinilah kunci kenapa Marx mati-matian menjelaskan posisi “nilai lebih”, sekaligus kritik pedas atas pendapat pendahulunya, David Ricardo, yang menelurkan teori kerja tentang nilai (labour theory of value).

Menurut Marx, nilai lebih adalah perbedaan nilai benda atau kerja yang dihasilkan oleh pekerja dengan biaya pemulihan tenaga kerja itu sendiri. Tapi sistem itu tak muncul begitu saja, melainkan lahir dari dialektika material kapitalisme yang panjang. Di sana, kapitalis selalu memperhitungkan agar biaya produksi berada di bawah nilai jual. Nilai produksi adalah nilai alat-alat yang dipakai ditambah dengan nilai tenaga kerja yang dihabiskan untuk menghasilkan produk itu. Selisih antara keduanya yang disebut laba bersih.

Nilai lebih terjadi umumnya bila pemodal menyuruh buruh agar bekerja melebihi jam yang dibutuhkan untuk memproduksi barang/jasa tadi. Marx berpendapat, nilai lebih ini bersifat eksploitatif karena hasil dari lembur tidak digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, melainkan hanya menambah laba kapitalis untuk memperbesar modalnya.

Sirkuit eksploitasi dan akumulasi modal ini, menurut Marx, hanya akan menghancurkan diri kapitalisme itu sendiri. Tapi banyak orang yang menafikan asumsi-asumsi nyinyir Marx atas masa depan kapitalisme yang ternyata dalam sejarahnya anteng-anteng saja. Apalagi latar bangun analisis Marx didasarkan pada model kapitalisme abad 19 yang boleh dibilang sudah rudin.

Memang kapitalisme pernah mengalami krisis-krisis besar seperti peristiwa malaise 1930-an serta susutnya ekonomi Amerika 70-an dan dekade akhir 90-an. Tapi semuanya tak mengirim kapitalisme ke liang kuburan lantaran keluwesan kapitalisme mengubah organisme dirinya. Malah sebaliknya, sosialisme yang terkilir dan tumpah ke lubang yang disiapkannya untuk kapitalisme.

Tapi di luar itu semua risalah ekonomi ini masih menyimpan enigma dan belum tergantikan sebagai “Kitab Suci” bagi buruh. Ia memberi inspirasi bagi buruh, sekaligus hantu menakutkan bagi kapitalis dan komprador-komprador negaranya, termasuk di Indonesia. Walaupun menakutkan dan dikutuk habis-habisan, tapi buku ini senasib dengan penulisnya: hidup sunyi dan tak banyak dibaca.

Ya, ketika jasadnya dituang ke liang pekuburan Highgate, London, 17 Maret 1883, hanya delapan orang yang berdiri di sisian makamnya. Aduh, Mbah Jenggot, ironis sekali hidupmu.


[+baca-]

Saturday, July 14, 2007

JM Coetzee: Politik Ras dalam Sastra Pascakolonial

Oleh Muhidin M Dahlan

The Waiting for Barbarians
Penulis: JM Coetze
Diterjemahkan: Penguin Books, NY (1980)
Tebal: 156 halaman


“Seorang penulis tidak sama dengan duta besar bagi sebuah negeri yang tidak boleh tidak harus membela habis-habisan negeri itu. Tugas seorang penulis hanya mengatakan kebenaran yang ia saksikan. Tak lebih dari itu.” JM Coetzee

Dianugerahinya sastrawan Afrika Selatan, John Maxwell Coetzee, atas nobel sastra 2003, bukan hanya menjadi kemenangan Coetzee dalam arti pribadi, melainkan juga kemenangan atas perjuangan panjang yang melelahkan atas rasialisme yang menghantui dunia puluhan tahun. Tercatat bahwa Coetzee adalah salah satu di antara ribuan pribadi yang dengan segala kesungguhan merekam dengan jeli dan detail bagaimana rupa rasialisme yang mencucuk-cucuk dan mencerabut asas kesadaran kemanusiaan seorang manusia menjadi barbarian atas sesamanya.

Salah satu karya Coetzee yang mengusung tema rasialisme dan barbarianisme itu adalah The Waiting for the Barbarians yang dipuji oleh Chris Switzer dalam sebuah situs sebagai a story first and foremost about love and unspoken forgiveness.

Pada 1991 novel ini dialihbahasakan oleh Penerbit Obor dengan judul yang mangkir dari aslinya: Jeritan Hati Nurani, Dilema Kehidupan Sang Hakim. Penjudulan terjemahan ini memang sedikit melemahkan semangat yang ingin disampaikan oleh judul asli, yakni gugatan dan sekaligus rasa nelangsa (baca: hampa) atas praktik politik rasialisme yang buas dan biadab.

Dengan titel The Waiting for the Barbarians, Coetzee coba mempersoalkan pengertian barbar di pentas dunia. Siapakah yang barbar, orang-orang pedalaman Afrika (dan manusia-manusia “Dunia Ketiga” umumnya) ataukah kolonialis-kolonialis Eropa? Siapakah si beradab dan si biadab, mereka yang pigmen kulitnya hitam ataukah putih? Pertanyaan-pertanyaan yang memaksa kita untuk kembali menengok bagaimana praktik politik apartheid dilangsungkan di sebuah peradaban.

Ya, novel ini memang harus kita letakkan dalam konteks politik apartheid yang mengeras dan mengurung Afrika Selatan selama 46 tahun (1948 – 1994). Selama waktu empat dasawarsa lebih itu, kemartabatan manusia dinilai lewat formasi dan klasifikasi ras: putih, berwarna, Indian, dan hitam.

Ditilik secara genealogi, sebagaimana pernah diulas oleh buletin KUNCI Cultural Studies (8/09/2000), rasialisme ada bersamaan dengan tumbuh-kembangnya wacana biologis Darwinisme sosial yang lebih menekankan pada "garis keturunan" dan "tipe-tipe manusia". Di sini ras menunjuk pada karakteristik-karakteristik yang paling jelas dinyatakan dengan pigmentasi kulit. Atribut-atribut ini kemudian seringkali dikaitkan dengan intelejensi dan kemampuan, yang dipakai untuk memeringkat kelompok-kelompok yang telah diraskan dalam hierarki sosial, superioritas kepemilikan material, dan subordinasi. Akar dari rasialisme itu lalu menjelma menjadi kekuatan sosial yang cukup fantastis ketika diambil alih oleh mesin kekuasaan politik.
Oleh JM Coetzee, ras yang terbentuk dari proses sosial dan pertarungan kekuasaan politik itu digambarkan dalam suasana dan bahasa yang sangat muram. Tak salah kiranya bila kritisi sastra Nilanjana S. Roy menyebut Coetzee sebagai a bleak and pessimistic writer (penulis yang murung dan pesimistik).


DALAM novel The Waiting for the Barbarians, Coetzee menempatkan tokoh “aku” yang berasal dari peradaban “beradab” (baca: kulit putih, Eropa) sebagai tokoh protagonis. Saya kira pemilihan protagonis dari sisi di luar peradaban pengarangnya sendiri ini sudah dipertimbangkan secara matang. (Sekadar catatan, bahwa teknik yang sama juga pernah dilakukan Pramoedya Ananta Toer, pengarang gaek asal Indonesia ketika menuliskan sekuel keempat roman Tetralogi Buru-nya, Rumah Kaca). Dan teknik semacam ini gampang-gampang susah. Dibutuhkan penguasaan seperangkat pengetahuan, tersedianya script kebudayaan yang memadai, dan bahkan sang pengarang harus mengenal dengan baik psike-diri dari peradaban yang selama ini dijunjung-junjung kaum cendekia dan sejarawan sebagai peradaban yang (selalu) berada “di atas angin”.

Selain itu, tentu saja pilihan teknik ini merupakan usaha pengarang untuk “selamat” dari jebakan terlampau emosional ketika memperhadapkan secara oposisi biner antara dua kekuasaan (si “beradab” dan si “biadab”) yang dalam kenyataannya saling mendelik dan menenggang satu dengan lainnya.

Sebagaimana Pramoedya menampilkan tokoh Indo bernama Pangemanann (dengan dua n), Coetzee menampilkan tokoh “aku” yang seorang hakim, seorang sep di tanah kolonial. Ia ditugaskan untuk mengatur segala bentuk administrasi dan mencatat pelbagai peristiwa (baca: memata-matai gerak kaum “barbar”) yang kemudian menjadi bahan laporan kepada Ratu Kerajaan. Tapi betapa melonjaknya si aku. Studi-studi kemanusiaan yang ia dapatkan di ruang-ruang kuliah Eropa seakan menjadi batal ketika berhadapan dengan kenyataan di lapangan. Si aku mendapatkan bagaimana popor senapan berkelebatan memangsa para tawanan. Dilihatnya, betapa Eropa yang agung, yang beradab, yang dijunjung dan disembah-sembah karena ketinggian pengetahuannya, memperlakukan tahanan-tahanan kulit hitam dengan buasnya. Si aku menyaksikan pelbagai praktik genosida, interogasi, bentakan, rintihan yang dilakukan oleh serdadu-serdadu dari dunia “beradab” yang dalam hal ini diwakili oleh dua tokoh: Kolonel Joll dan Sersan Mayor Mendel.

Dua tokoh itu adalah representasi sempurna dari wajah Eropa yang lain yang selalu dikaluti oleh rasa jumawah, serbawah, dan serbasuper. Hasrat yang terendap adalah apa yang disebut Epicurus sebagai desire of wholeness (hasrat serbamenyeluruh). Hasrat itu kemudian mendorong misi “polisional” (civilizin mission) untuk memberadabkan negeri-negeri “biadab” yang dihuni oleh sebagian besar manusia berpigmen berwarna, Indian, dan hitam.

Coetzee, lewat narasi sang asing (the other) memerlihatkan begitu banyak penyimpangan, keterbelahan, dan bahkan kontradiksi internal yang manusiawi dalam cerita pahit apartheid. Juga raungan kejujuran si aku yang coba melihat dan mengritisi kebudayaan sendiri, yang selama ini dianggap segala-galanya, tapi ternyata di lapangan terus mengukir wajahnya yang paling brengsek dan brutal.
“Aku menyaksikan hal yang kutakutkan: sebuah kereta hitam ditarik kuda melintas, kemudian di belakangnya para tawanan berjalan mengikuti sambil tersauk-sauk karena batang leher mereka diikat dengan tambang… dan ditembak.”

Didorong oleh kemurnian nurani, si aku coba berjuang membelokkan mata batinnya yang meraung-raung atas praktik pongah “ras putih”nya dengan mencoba memberi secuil “balas-budi”. Ia menolong seorang pengemis perempuan muda kulit hitam yang buta dan mempekerjakannya di dapur. Bahkan, tidak lama kemudian si aku berjuang mati-matian mengembalikan perempuan itu ke sukunya dengan melintasi gurun selama 12 hari.
Dan atas usahanya itu, ia dicap sebagai pengkhianat oleh serdadu Ratu. Ia dijebloskan dalam tahanan oleh karena satu dosa: coba keluar dari kepompong rasialisme yang menghina manusia dan memerosotkan derajatnya ke tempat yang serendah-rendahnya.

Di titik ini saya menarik semacam ajar, bahwa si aku yang dihidupkan oleh Coetzee adalah representasi dari nurani Eropa. Kegelisahan si aku adalah kegelisahan nurani Eropa yang dikubur oleh politik kolonial (Eropa) yang menyimpan prasangka rasial yang mematikan ras-ras yang didefinisikannya sebagai barbarian (kulit hitam, berwarna, dan Indian). Saya pikir gagasan psikiater radikal Aljazair, Frantz Fanon, dengan Coetzee bertemu di terminal asumsi ini, bahwa humanisme yang digembar-gemborkan Eropa selama ini tidak lain adalah humanisme-rasis, yang untuk menyusun tangga-tangga peradabannya hingga berada di anak tangga puncak, mereka seperti dipaksa menciptakan budak dan monster.

Tahulah kita sekarang betapa tipis dan betapa awangnya beda antara “beradab” dan “biadab”. Siapakah yang disebut beradab. Humanisme-rasis Eropakah? Ataukah gerakan pembebasan pribumi-pribumi kulit hitam Afrika yang terus dikejar dan diburu oleh kulit putih sebagai kaum barbar yang wajib ditumpas?

Dengarkan jawaban Coetzee lewat narasi si aku: “Penduduk yang kita sebut-sebut biadab sebetulnya hanya orang-orang yang hidupnya berpindah-pindah dari daratan rendah ke daratan yang tinggi atau sebaliknya…. Apa sesungguhnya mereka inginkan dari kita? Mereka hanya ingin satu hal: kita mengakhiri perluasan pemukiman yang melintasi dan merampas tanah mereka. Mereka ingin bebas bergerak di tanah mereka sendiri dan bersama suku mereka…. Serbuan-serbuan yang kita lakukan adalah tindakan yang sama sekali tidak didasari oleh kebenaran, yang kemudian disusul oleh praktik tindasan mahakejam yang ceroboh yang kemudian menyisakan luka yang amat dalam dan memerih lama dalam dendam. Dan herannya, itu semua kita lakukan untuk menjaga kehormatan Kerajaan….”

Renungan-renungan politik ras yang didaraskan Coetzee memang melontarkan gugatan yang hebat atas stereotip yang diusung rasialisme. Renungan itu memberikan semacam justifikasi argumen bahwa tindakan kekerasan yang tak tertahankan yang disumbangkan serdadu-serdadu Eropa di tanah kolonial, bukanlah suara kemarahan, bukan pula insting liar, juga bukan karena efek kekecewaan. Mereka hanya ingin menjadi diri mereka sendiri. Kaum pribumi berusaha menyembuhkan dirinya dari neurosis kolonial dengan merampas pemukiman melalui kekuatan bersenjata.

Tapi Coetzee memiliki beberapa perbedaan dengan anasir-anasir pribumi di tanah kolonial yang tiba-tiba saja berubah jadi monster dalam merespons kebiadaban praktik kolonialisme Eropa. Dalam novel ini misalnya, Coetzee tidak lupa membubuhkan beberapa titik kritik atas tradisi-tradisi pribumi yang memang masih belepotan nokhtah: kolot, bodoh, feodalis, tidak menghormati perempuan, pemabuk, pemalas, dan lain sebagainya. Artinya, Coetzee telah menempatkan dirinya sebagai manusia berpijak di tanah antara: di satu sisi ingin melakukan kritik atas praktik humanisme-rasis Eropa, sementara di sisi lain mendorong bangsanya sendiri untuk mengejar ketinggalannya di bidang pengetahuan dan kemakmuran.


DARI sudut pandang politik pascakolonial, kemenangan JM Coetzee atas nobel sastra, memang terkesan sebagai salah satu upaya “balas budi” Eropa atas kejahatan ras yang secara sistematis telah mereka timpakan atas orang-orang Afrika (Selatan). Namun di balik segala yang kulit-kulit itu ada pesan yang lebih luas dan penting. Pesan itu berbunyi: wacana rasialisme (plus sekutu utamanya: fasisme) belum sepenuhnya tutup panggung dari peradaban dunia. Dengan memakai zirah ideologi neoliberalisme, kaum-kaum neokonservatisme dari pelbagai negara menumbuhkembangkan bibit-bibit wacana rasialisme di kancah perpolitikan dunia di awal abad ini.

Sebut saja pemilihan Presiden Prancis 2002: Jean-Marie Le Pen, pemimpin partai konservatif radikal (French National Front) yang murni mengusung ide-ide rasialisme mengejutkan Eropa karena keberhasilannya menyodok di urutan kedua melampaui kandidat Partai Sosialis Perdana Menteri Lionel Jospin. Di Belanda, partai konservatif Kristen Demokrat yang dipimpin Pim Fortuyn, juga meraih peringkat kedua. Konon ia memiliki salah satu program utama meminta Belanda untuk menutup pintunya atas kehadiran para imigran, terutama Muslim yang dianggapnya berasal dari peradaban paria yang terkebelakang (Latif, 2003). Demikian pula di negara-negara lain: Denmark (Pie Kjaersgaard), Italia (Alessandra, cucu sang fasis Mussolini), Australia (koalisi John Howard dan Gubernur Jenderal Peter Hollingworth, mantan Uskup Anglikan Brisbane), dan Amerika (George W. Bush yang sangat dekat dengan pemuka-pemuka gereja konservatif, terutama Reverend Moon).

Maka hati-hati, hantu politik ras itu masih gentayangan!
[+baca-]

Monday, July 9, 2007

Jhumpa Lahiri: Mikrokultura dalam Sastra Pascakolonial

Oleh Muhidin M Dahlan

Judul Buku: Interpreter of Maladies
Penulis: Jhumpa Lahiri
Diterjemahkan: Penerbit Jalasutra dan akubaca (2002 dan 2003)
Tebal: 188 halaman


“Untuk menjadi seorang penulis profesional,
berusahalah menulis tentang renik di ranah apa pun, setiap hari.”
--Jhumpa Lahiri

Nama Jhumpa Lahiri mungkin tidak akan dikenal publik sastra Indonesia secara luas andai saja karyanya yang berjudul Interpreter of Maladies: Stories (London: Flamingo, 1999; 198 halaman) tidak diterjemahkan. Sekadar catatan, kumpulan cerita Jhumpa yang kemudian diterjemahkan oleh dua penerbit sekaligus dengan dua judul yang berbeda: Jalasutra-Yogyakarta (Benua Ketiga dan Terakhir, akhir 2002) dan Akubaca-Jakarta (Penafsir Kepedihan, awal 2003), berhasil menyabet penghargaan bergengsi Pulitzer Prize untuk Fiksi—yang kemudian disusul berturut-turut the New Yorker Prize untuk Buku Kesatu Terbaik, the P.E.N./Hemingway Award, dan kandidat untuk the Los Angeles Times Award.

Tapi siapakah Jhumpa Lahiri?

Jhumpa Lahiri adalah perempuan pascakolonial: orangtua asal Bengali (Calcutta, India), lahir pada 1967 di London (Inggris), dibesarkan di Rhode Island (Amerika Serikat), dan kini tinggal dengan suaminya, Alberto Bush, wartawan Time, di New York. Dengan darah hidup dan lingkungan bercampur-baur sedemikian rupa itu, sah kiranya bila Jhumpa masuk dalam kategori manusia “diasporic culture”.

Di mana-mana, manusia bergenetik “diasporic culture” selalu merasa berada dalam jentik keterasingan (alienasi), yang selalu berada dalam kurungan “sense of exile”. Keterasingan kerap membawa seorang manusia gamang dalam mencobai hidup yang berhadapan dengan pelbagai ragam budaya yang serbabaru. Tapi keterasingan bukan untuk ditinggalkan, tapi dijalani. Benturan-benturan “diasporic culture” itulah yang menjadi tema utama semua penulis yang lahir dan besar dalam kapsul ranah pascakolonial, seperti Salman Rushdie, R.K. Narayan, V.S. Naipaul, Michael Ondaatje, Arundhati Roy, dan lain-lain.

Demikian pula dengan Jhumpa Lahiri. Tapi Jhumpa tidak seperti Edward W. Said yang menggelontorkan teori relasi dan perembesan kuasa kolonial, melainkan memperlihatkan secara langsung kehidupan yang sesungguh-sungguhnya yang dialami manusia pascakolonial (semua tokoh cerita Jhumpa adalah orang India perantauan). Ia memaparkan semua itu sedemikian detailnya, terutama interaksi dan tarikan-tarikan kebudayaan manusia yang “terjebak” dalam kapsul dualisme kebudayaan (sembilan cerita dalam antologi ini gonta-ganti mengambil seting India-Amerika).

Tema keterasingan itu sudah kita jumpai sejak cerita pertama dalam antologi ini: “A Temporary Matter”. Dengan mengambil seting Boston, USA, dan tokoh utama pasangan suami-istri: Shukumar dan Shoba, pembaca diajak berkelana di ruang keluarga kecil imigran yang memosisikan dirinya dalam arus besar kota Boston—tanpa tamu, tanpa kenalan yang berarti. Karena itu dialog yang terjadi dalam lima hari lima malam yang gulita—tanpa penerangan karena pemadaman listrik dalam kota—terisolasi hanya melulu di seputar keluarga. Sudah bisa kita bayangkan bagaimana sunyinya jiwa-jiwa manusia pascakolonial yang terisolasi di dalam “rumah [asal]”nya itu.

Keterasingan yang serupa kita bisa temukan dalam cerita terakhir: “The Third and Final Continent”. Cerita ini dengan elegan berkisah tentang tokoh “aku” yang terdampar di tiga benua: India, lalu pada 1964 pindah ke London, dan menetap di Boston. Cerita semi-autobiografis ini, selain berisi catatan perjalanan, juga di dalamnya kita temukan benturan kebudayaan dan identitas kepahlawanan. Dikisahkan bagaimana “aku” setiap masuk ke apartemen “rasis” (hanya mahasiswa Harvard University yang diizinkan tinggal) dan dijaga oleh seorang nenek berusia seabad, harus mengucapkan kata: “Rruaarr biasa!” ketika nenek tua itu berteriak, “Ada bendera Amerika di bulan.” Di sini, mau tak mau tokoh “aku”, walaupun sungkan, harus tahu diri bahwa kakinya sedang berjejak di ranah rantau yang sama sekali berbeda dengan tradisi asalnya.

“Interpreter of Maladies” yang kemudian dijadikan banner judul antologi Jhumpa, berkisah tentang keluarga asal India yang sudah bertahun-tahun meninggalkan tanah asalnya ke Amerika Serikat. Dan kini, dengan dipandu seorang guide yang memiliki pekerjaan sebagai penerjemah penyakit di sebuah klinik Gujarat, mereka melancong kembali ke tanah asalnya. Sebagaimana umumnya wisatawan Barat, betapa tercengangnya mereka dengan pesona oriental seperti kuil, cerita-cerita dewa yang disodorkan oleh tanah asalnya yang itu semua mereka tidak dapatkan di negeri-negeri oksidental.

Ada satu ciri khas cerita Jhumpa Lahiri: ceritanya bertumpu pada tuturan yang cermat dalam pengungkapan detail dan kesederhanaan bahasa dan narasi. Dalam sembilan cerita dalam antologinya ini, kita tidak menemukan cerita-cerita besar dan pengungkapan yang njlimet. Tidak pula mengungkap pergulatan manusia berhadapan dengan masalah-masalah kekuasaan ataupun ideologi besar. Elegansi cerita Jhumpa terletak dalam pengungkapan yang detail dan cermat. Dan umumnya detail itu bergerak dan menari-nari dalam lingkup sehari-hari yang umumnya privatif: keluarga, makanan, dapur, kampus, dan gedung-gedung kota. Maka, istilah-istilah pakaian, lipstik, sederet nama-nama makanan (baik makanan Amerika [hotdog, cornflake, …] maupun India [miju-miju…]), dan hampir semua alat dapur berdentingan di sekujur tubuh ceritanya.

Betapa terampilnya Jhumpa mengulak-alik ingatan negeri asal dan negeri rantauan dalam ranah mikrokultura (subjek budaya renik) lewat metafora makanan. Artikel Asha Choubey, pengajar Kanya Mahavidyalaya, India, di sebuah web pascakolonial, jelas-jelas menunjuk bagaimana lewat makanan, tergambar potongan-potongan pola putaran kehidupan manusia pascakolonial, manusia yang berada di “pintu gerbang”. Di sana, makanan tidak lagi dipandang sebagai makanan an sich, tapi telah menjadi budaya, menjadi bahasa, dan menjadi subjek yang menunjuk pada identitas etnik tertentu. Pendeknya, “Food becomes a motivating force in these stories,” tulis Choubey.

Ambil kisah “Mrs. Sen’s” yang di sana Jhumpa menggambarkan gerilya kerinduan akan ranah asal lewat tokoh Nyonya Sen. Suatu hari, Nyonya Sen kebelet ingin membeli ikan yang menjadi makanan utamanya ketika masih tinggal di Bengali dahulu. Tapi apa daya, di Amerika (ranah rantauan) sulit mendapatkannya. Kalaupun ada, rasanya begitu hambar. Saking kebeletnya, ia berkeliling mencarinya di setiap sudut kota dengan berkendara mobil. Tapi apes, bukan ikan yang didapat malah kecelakaan. Atau “The Third and Final Continent” yang mengisahkan “aku”—laki-laki rantauan asal Bengali—yang walaupun sudah akrab dengan makanan Amerika yang mengharuskan memakai sendok, tetap saja ia lebih senang makan dengan tangan telanjang sebagaimana kebiasaan masyarakat Asia Selatan.

“Ritual” di meja makan juga bisa kita baca dalam “When Mr. Pirzda Came to Dine” dan Treatment of Bibi Haldar”.

Tentu saja kisah-kisah itu tidak sekadar cerita tentang makanan, melainkan juga memotret usaha seorang manusia pascakolonial mempertahankan identitas asalnya dengan menghadirkan apa saja yang berbau asal dalam ranah eksilnya, walaupun itu hanya sekadar makanan (salah satu renik dalam ikon mikrokultura).

Kesahajaan cerita dan usaha yang gigih menjembatani benturan tradisi di ranah pascakolonial dengan jalan membalut isu-isu mikrokultura dalam urat nadi cerita itulah yang menyebabkan karya Jhumpa Lahiri mendapat tempat terhormat di kancah sastra internasional. Maka tahulah kita, bahwa untuk mendapatkan “pengakuan”, tidak mesti membuat cerita-cerita yang “aneh” sebagaimana Rowling, Tolkien, atau bahkan insan-insan muda sastra yang membanjiri ranah sastra Indonesia terkini dengan pengucapan yang kerap “dirumit-rumitkan”.

Jhumpa tidak perlu beraneh-aneh dalam pengungkapan dan pilihan tema-tema besar dan wah dalam bercerita. Ia hanya mengisahkan soal-soal kecil, sepele, remeh-temeh, yang dihadapi seorang manusia di dua kebudayaan yang berimpitan, dengan pemecahan masalah yang “wajar-wajar” saja. Namun Jhumpa sangat bersungguh-sungguh dan telaten mengelola jalinan detail mikrokultura itu. Dan kesungguhan dan ketelatenan itu tampaknya sudah lebih dari cukup untuk mengantarkannya duduk dalam jajaran sastrawan-sastrawan berkelas seperti Naipaul, Narayan, Hemingway, Raymond Carver, dan lain-lain.



[+baca-]

Thursday, July 5, 2007

‘Malpraktik’ dari Digul

Oleh Muhidin M Dahlan

Papua Sebuah Fakta dan Tragedi Anak Bangsa
Penulis: dr John Manangsang
Cetakan: I, 2007
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Tebal: xlii+436

Digul adalah ingatan tentang gelap sejarah politik Indonesia. Ia adalah—pinjam istilah mantan digulis Hatta—adalah ‘neraka dunia’ yang diciptakan penguasa Hindia Belanda, Gubernur Jenderal De Graeff di awal-awal 1927 sebagai tempat buangan para aktivis. Memang tak ada tembok-tembok besar yang mengurung di sini. Sebab rimba dan paya-paya kaya nyamuk cukup menebar horor yang menggetarkan bagi siapa pun; walau ia seorang aktivis pergerakan sekeras kepala seperti Marco Kartodikromo.

Digul beda dengan Gulag yang penuh dengan lampu sorot, para sipir siaga siang malam memegang pecut dan mengokang senapan, serta tembok-tembok raksasa. Di Digul ada rumah ibadat, warung-warung, ‘rumah sakit’, bahkan bioskop. Jika kemudian Digul menjadi sangat menakutkan, tiada lain karena pembunuh terbuas di sana adalah rasa bosan yang membunuh harapan. Setiap orang yang berada di sana mesti berjuang mati-matian menjaga kewarasan agar tak jatuh menjadi gila.

Jika kemudian ada orang mampu berbuat sesuatu di tanah yang dikurung rimba dan gunung-gunung ini, pastilah dia adalah pribadi-pribadi papilon. Dr John Manangsang adalah salah satu papilon yang bukan hanya luput dari ‘gangguan jiwa’, namun dengan kedua tangannya bisa membangkitkan inspirasi bagi siapa pun yang bersetia bagi kemanusiaan.

Jangan membayangkan dr John Manangsang seangkatan dengan dr Tjipto Mangoenkoesoemo yang hidup di Digul ketika Indonesia masih dalam embrio. John Manangsang adalah dokter muda sebuah puskesmas saat Indonesia berada di puncak-puncak pertumbuhan ekonominya atau kerap disuarakan aparatus Orde Baru dengan keyakinan membulat: “Tahun-Tahun Emas Indonesia”.

Dr John sejatinya adalah dokter ‘lugu’ dengan satu keyakinan: “dokter adalah mereka yang disumpah dan bersumpah untuk membaktikan hidup mereka guna kepentingan kemanusiaan; menjalankan tugas dengan cara terhormat, bersusila sesuai martabat pekerjaan mereka; kesehatan penderita akan senantiasa diutamakan,... setelah itu para dokter pun pergi menyebar ke pelosok-pelosok nusantara, bahkan sampai pada tempat yang tak terbayang oleh manusia lain...”

Dr John sebetulnya bisa mencecap kehidupan yang lebih baik sebagai dokter di RS Tjipto Mangoenkoesoemo karena ia alumni kedokteran di Universitas Indonesia dengan tingkat ketekunan di atas rata-rata bagi teman-teman sealmamaternya. Namun dr John memilih untuk kembali ke Digul, ‘neraka dunia’ di mana dr Tjipto pernah dipendam pemerintahan kolonial karena sepak terjang politiknya bersama Indistje Partij.

Jakarta dan Digul adalah langit dan bumi. Tapi praktik-praktik kedokteran dipraktikkan dalam komposisi dan ilmu yang sama karena sama-sama melayani manusia yang sama sebagai pasien. Kesederhanaan, kehangatan, kesetiaan, serta keberanian dr John mengambil tindakan-tindakan medis selama 2 tahun (1990-1991) di Digul menjadi teror bagi siapa pun yang memihak pada kemanusiaan.

Teror itu kemudian dibagi dr John dalam buku berjudul luar biasa panjang ini: Papua Sebuah Fakta dan Tragedi Anak Bangsa, Pergumulan Etika, Moral, Hukum, Sosial, Budaya, Kedokteran, SDM, dan Kemanusiaan; Refleksi 15 Tahun Pasca Kisah Nyata: “Catatan Seorang Dokter dari Belantara Boven Digul dan Komentar Para Pakar Indonesia”.

Seperti seorang novelis yang telaten merinci detail yang mengguncang, dr John mamapas dengan sangat rinci setiap detik menentukan dalam sebuah operasi darurat pasien-pasiennya di puskesmas sederhana dengan alat-alat operasi yang membuat bulu kuduk berdiri, seperti silet untuk membelah perut dalam operasi sesar dan mencocor anus yang buntu; atau tang dan pahat untuk mamapas tulang lutut.

Buku ini juga bercerita dengan sangat efektif dan membius tentang perjalanan panjang 90 hari dalam sebuah ‘pawai pengabdian’ yang oleh dr John dinamai: Program Puskesmas Keliling Jalan Kaki ke semua desa di Kecamatan Mandobo, Boven Digul.

Bacalah kisah yang begitu memilukan dalam sebuah operasi cesar yang berlangsung dua kali dalam waktu empat hari dengan pasien yang sama. Setelah lolos dari operasi cesar, sang pasien harus dioperasi ulang karena ususnya terlilit dan nyaris merenggut nyawanya. Dan operasi yang bertarung dengan maut itu dikerjakan dr John di bawah penerangan lampu pertromaks karena PLN telah mematikan listrik sesuai jadwal (jam satu dini hari); walau dr John sudah mengiba-iba kepada petugas jaga agar diberi listrik paling tidak dua jam.

Lain waktu, lain pasien, di kamar yang sama. Operasi sesar dimulai dengan kepanikan serupa. Stok peralatan puskesmas di bawah minimum. Kasa steril tak punya dan harus meminjam dari kesusteran, sementara pisau operasi habis terpakai. Mobil ambulance keluaran zaman prasejarah sudah lama mangkrak karena terbalik sehabis menubruk tebing dalam sebuah program puskesmas “keliling jalan kaki”. Sterilisator memang sudah dibawa ke Perumtel untuk dipanaskan, namun listrik di Perumtel tak cukup kuat untuk memanaskan. Terpaksalah sterilisator itu direbus pakai kukusan di belakang puskesmas.
Tampaknya semua sudah siap di meja operasi. Namun dr John dikagetkan oleh teriakan perawat: “Pisau operasi habis dan tak ada satu pun yang tersisa untuk operasi ini.”

Karena tak boleh menunda operasi hanya karena soal pisau, dengan spontan dr John merogoh sakunya dan mengeluarkan uang seratus rupiah.”Tolong belikan silet Tiger di salah satu kios terdekat.” Silet itulah yang dipakai untuk membelah perut pasien.
Saat operasi atresia ani atau lahir tanpa lubang anus, dr John pun dihadapkan pada fasilitas yang minimum. Ia sudah menghubungi rekan-rekannya yang berada di kota untuk mendapatkan secuil informasi dan kalau bisa sekaligus dengan alat, namun jawaban yang diterima adalah pasien mesti dirujuk. Namun dr John tak mau merujuk pasiennya lantaran keterbatasan ekonomi.

Maka ia pun mengambil jalan nekat dalam sebuah operasi buta. Bermodal sepotong patahan silet yang berbentuk segitiga yang dijepit pada ujung klem, sebuah obeng pencongkel gigi, sebuah trokar besi tajam penembus otot, sebatang sonde pengukur dalamnya dan posisi kandungan, sebuah spekulumk hidung, sebuah tabung spuit besi penyemprot gliserin ke dalam lubang anus, dan sebuah gunting. Dan operasi itu pun dimulai tatkala mata silet itu mencocor lubang anus yang buntu itu.

Dalam kesempatan operasi yang lain, pahat yang biasa untuk pertukangan pun hadir sebagai “tamu kehormatan” di kamar bedah dr John. Pahat—dan juga palu—digunakan untuk pasiennya yang terkena artodesis atau kekakuan sendi. Alat itu digunakan dr John untuk sebuah operasi memahat sendi lutut manusia. Inspirasi memahat lutut itu justru muncul ketika operasi sudah separuh jalan dan ia menemui jalan buntu. Di saat putus asa itulah ‘kreativitas’nya muncul. Ia memerintahkan perawatnya mencari pahat, obeng, dan martil di tetangga puskesmas lalu direbus serta disirami alkohol 70%. Setelah itu ujungnya dibakar. Untuk letak yang sempit, pahat diganti dengan obeng.

Dr John Managsang mengerjakan semua pekerjaan penyelamatan jiwa manusia yang bertarung dengan penyakit-penyakit mematikan itu tanpa buku penuntun. Ia kerap hanya mengandalkan imajinasinya dengan mencoret-coret garis yang dilewati pisau pada secarik kertas atau di tubuh pasien.

Menghadapi situasi minimnya peralatan kedokteran dan ilmu yang pas-pasan, dr John lalu mengandalkan insting, keberanian,dan harapan yang dipacu pasiennya bahwa dr John adalah dewa penolong. Ia adalah wakil Tuhan yang bisa membantu mereka untuk tawar-menawar dengan maut, walau tak setiap usaha yang dilakukan dr John membuahkan hasil alias banyak juga pasiennya yang meninggal dunia akibat kegagalan operasi yang dilakukan.

Dr John bukanlah sosiolog atau sejarawan atau antropolog yang perlu melumat serigit-rigitnya data-data kondisi kemakmuran di pedalaman Papua dan memberitahu bahwa Papua betul-betul gelap dan gersang. Kisahnya tentang sayatan silet, hentakan martil yang menghantam gagang pahat dan obeng, serta listrik yang byar-pet di ruang operasi sempit cukup memberitahu bagaimana kondisi kepulauan hitam Papua. Di sana, bertumbuh harapan dan daya hidup yang sekaligus berdiri rapet bersisian dengan penyakit dan kuntitan maut.

Kesaksian yang coba dituturkan dengan rinci oleh buku ini—disertai sekira 50 gambar-gambar pasien yang berdarah-darah di meja operasi—adalah teror mental dan pedalaman kemanusiaan. Bukan saja kepada para dokter muda yang ingin mengabdi di pojok-pojok Nusantara yang bahkan kondisinya tak terjangkau oleh nalar, tapi juga buat pemangku-pemangku kebijakan publik di pusat-pusat kekuasaan.

Dan memang Digul tetap menjadi teror dan ‘neraka dunia’. Namun bedanya kini adalah anakronisme, sebab ‘neraka dunia’ itu justru berlanjut ketika Indonesia merdeka dan mencicipi bagaimana melewati tahun-tahun emas.

Itulah sebabnya kisah dr John adalah oase di tengah industri kedokteran yang berada di titik gawat setelah digerus dan dicundangi habis-habisan oleh kekuatan kapitalisme farmasi. Di sini, kemanusiaan digorok, sebab yang menentukan semuanya adalah kapital, kapital, dan kapital.
[+baca-]

Nasionalisme Para Juru Suntik

Oleh Muhidin M Dahlan

Lahirnya Satu Bangsa dan Negara
Penulis: OE Engelen, Aboe Bakar Lubis, dkk
Penerbit: UIP, 1997
Tebal: 483 halaman


Revolusi Indonesia pada akhirnya lahir di jalanan bersama pekik kerumunan massa, pidato-pidato yang membakar, dan disertai serangkaian adu bedil. Dan di antara semua itu, kaum muda berada di pusat bandul pergolakan. Hampir setiap babakan penting menuju Indonesia Merdeka, semisal pendirian Boedi Oetomo yang secara umum dipahami sebagai tonggak kebangkitan nasional, sumpah pemuda 1928, penggumpalan aspirasi pendirian politik 1938 di Volksraad, hingga Proklamasi 1945, semuanya dipunggungi kaum intelegensi muda usia.

Ketuban dekrit Proklamasi Kemerdekaan, misalnya, tak akan pecah seandainya tak ada elemen intelegensi muda yang memandunya di mana pada saat yang sama Bung Karno dan Bung Hatta dalam posisi “bingung” hendak melakukan tindakan apa di tengah simpang siur berita kalahnya Jepang dalam Perang Pasifik.

Salah satu kelompok pemuda yang aktif dalam persiapan Proklamasi itu, selain kelompok Menteng 31, Cikini 71, Gang Bluntas, adalah Prapatan 10. Penamaan ini diambil dari nama jalan di mana kelompok ini tinggal. Prapatan 10 sejatinya adalah asrama mahasiswa Ika Daigaku (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Salemba).

Ide perguruan tabib modern ini datang pada Agustus 1942 dibawa Soejono Martosewojo dari Surabaya ke Jakarta guna mencari kerja. Ia bersama Eri Soedewo dan juga mahasiswa Jakarta seperti Koestedjo, Kaligis, Imam Soedjoedi, mendesak Mr Soewandi agar Jepang membuka Perguruan Tinggi Kedokteran.

Setelah disetujui, panitia dibelah dua. Satunya mengurus kurikulum, sementara lainnya mengurus pembentukan asrama untuk pondokan mahasiswa baru yang berdatangan dari luar Jakarta dan luar Jawa. Panitia lalu menunjuk bekas gedung Dienst van Volksgezondheid di Prapatan 10—dekat Pasar Senen pada jalan dua arah Prapatan Kwitang—yang bisa menampung 250 mahasiswa.

Di asrama inilah pembangkangan kepada Jepang dan perumusan konsepsi bentuk negara Indonesia digodok mahasiswa.

Buku yang sebelumnya berjudul Mahasiswa ’45 Prapatan 10: Pengabdiannya I ini lumayan mampu mendeskripsikan secara detail suasana dan gerak dalam asrama itu. Di sana tak hanya tumbuh mahasiswa-mahasiswa garang yang kelak menjadi petinggi-petinggi militer, tapi juga intelektual-intelektual berkelas internasional. Dan uniknya, mereka adalah para juru suntik yang dicambuk zaman untuk turut dalam badai revolusi. Mereka memang banyak berkecimpung di lab-lab kimia atau kamar-kamar bedah, tapi juga aktif bertukar pikir masalah politik dan merumuskan bentuk negara Indonesia, rajin menggelar rapat-rapat pembangkangan di selasar-selasar gelap asrama, dan bahkan para juru suntik belia ini turut mempelopori gerakan mahasiswa memanggul bedil.

Di asrama inilah Soedjatmoko yang kelak menjadi salah satu milestones intelektual Indonesia lahir. Ia menjadi salah satu pemikir yang menonjol di antara rekannya. Dan juga keras kepala. Selain menggalang sikap menolak saikeirei, Soedjatmoko—juga Soedarpo—memandu mogok kuliah massal setelah tentara Kompetai secara brutal melakukan penggundulan kepala mahasiswa di ruang-ruang kelas. Sampai-sampai Bung Karno, Bung Hatta, Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantoro turun tangan menasehati mahasiswa untuk kembali ke kelas. Bung Karno mengingatkan, kalau pemogokan itu diteruskan, akibatnya akan merugikan, bukan saja mahasiswa, tapi nusa dan bangsa.

Namun mahasiswa Prapatan 10 bergeming. Terutama Soedjatmoko dan Soedarpo. Menanggapi dua mahasiswa yang keras kepala ini Bung Karno sempat sewot dan harus menjelaskan panjang lebar kenapa bersikap ko kepada Jepang dan bukan nonko saat menghadapi Belanda. Tak lupa saat hendak pulang, Bung Karno melontarkan pujian kecil kepada kedua mahasiswa Prapatan itu bahwa kelak keduanya menjadi “orang besar”.

Radikalisme mahasiswa itu ternyata sudah lama tercium Jepang. Sewaktu diadakan latihan kemiliteran di Box-laan (sekarang Jalan Prambanan, Menteng), mahasiswa lari kocar-kacir tanpa perintah untuk berteduh dari hujan. Tiga hari setelah peristiwa lari dari barisan itu, belasan aktivis Prapatan ditangkap. Tuduhannya bertambah: turut menyiarkan keluar negeri ulah kejam Jepang menghadapi pemogokan mahasiswa. Separuh boleh melanjutkan kuliah setelah bebas, atau hanya kena skors berhenti kuliah setahun seperti Eri Soedewo. Tapi yang lainnya langsung diusir dari kampus. Termasuk rombongan terakhir ini adalah Soedjatmoko, Soedarpo, dan Koento.

Peristiwa itu begitu memukul Perguruan Tinggi. Namun bukannya mengendurkan radikalisme, malah kian memadatkan dan memupuk kebencian mahasiswa kepada Kompetai. Adalah Dokter Abdulrachman Saleh—kelak gugur dalam kecelakaan pesawat di Lapangan Maguwo Jogjakarta—yang sadar betul “bahaya kuning” itu. Maka secara diam-diam ia menjadi katalisator semangat para pemuda dan mahasiswa agar tetap membina mental dan fisik. Mahasiswa kedokteran menjulukinya “Karbol”. Jika Karbol sebagai bahan kimia digunakan untuk membersihkan benda, maka Abdulrachman Saleh adalah karbol untuk mencuci otak.

Abdurachman Saleh juga yang mengajak mahasiswa suntik itu turun ke kampung-kampung rombeng di Banten Selatan yang menjadi salah cikal program Kuliah Kerja Nyata Universitas. Selain menyebarkan virus nasionalisme, di kampung-kampung itu juga mereka mengajarkan masyarakat untuk hidup sehat dengan persediaan makanan seadanya. Termasuk mencontohkan mengolah bekicot secara sederhana menjadi makanan lezat tanpa bahan kimia.

Namun ada juga yang heboh ketika puluhan ribu romusha dari Bekasi membawa tetanus dan penyakit kejang ke CBZ (sekarang RS Cipto Mangunkusumo), tempat mahasiswa tingkat lanjut kuliah. Ternyata telah terjadi salah suntik (atau istilah kerennya medical crime=malpraktik) yang menyebabkan beberapa dokter yang sekaligus petinggi Ika Daigaku ditahan hingga beberapa di antaranya meninggal dalam penjara.

Kurir Proklamasi dan Konstitusi

Hanya selang dua pekan setelah PM Koisho 7 September 1944 menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia, pentolan-pentolan Prapatan 10 sudah membincangkan bakal bentuk negara, apakah dominion, kerajaan, republik, statenbond, bobdstaat, atau negara kesatuan. Dan mahasiswa ini memilih Negara Kesatuan yang mereka tahu berseberangan dengan pandangan Bung Hatta yang lebih condong pada statenbond.

Maka ketika diadakan ceramah terbuka Bung Hatta ihwal bentuk Negara Indonesia di Deutsches Haus, Gambir Barat (Jl Merdeka Barat sekarang), salah seorang mahasiswa Prapatan 10 mendebatnya sengit dan sinis. Saking dongkolnya sampai-sampai Bung Hatta melontarkan ucapan: “Lebih baik saudara kembali dulu ke bangku sekolah, sudah itu baru debat saya.”

Namun Bung Hatta luluh juga ketika beberapa pentolan aktivis mendatangi kediamannya tengah malam ihwal sikap mayoritas mahasiswa dan pemuda yang menginginkan Negara Kesatuan. “Kalau tidak diambil bentuk negara kesatuan, nanti terulang lagi politik dan taktik devide et impera Belanda,” ujar aktivis Prapatan 10, M Kamal, yang ditunjuk pentolan Menteng 31, Chairul Saleh.

Mahasiswa Prapatan kemudian tak hanya trampil dalam suntik-menyuntik, tapi juga piawai dalam berdiplomasi, membangun kesepahaman dengan pelbagai elemen pemuda lewat sidang-sidang kongres maupun rapat-rapat umum. Sebelum Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dibentuk, elemen-elemen pemuda sudah melakukan Kongres Pemuda se-Jawa yang menyerukan persiapan diri bagi pelaksanaan Proklamasi. Bersama pemuda Menteng 31, eksponen Prapatan itu melakukan serangkaian rapat gelap dan mencetuskan Gerakan Angkatan Baru Indonesia.

Pada 7 Juni 1945 mahasiswa Ika Daigaku, Yakugaku (Akademi Farmasi), dan Kenkoku Gakuin (Akademi Pemerintahan) menggelar rapat seluruh pemuda pelajar Sekolah menengah Tinggi untuk kemerdekaan Indonesia. Dan atas prakarsa pentolan-pentolan Prapatan rapat itu mengeluarkan tuntutan, selain “Indonesia Merdeka Sekarang Juga”, juga “diadakan latihan militer sempurna bagi pemuda-pelajar.”

Maka mahasiswa juru suntik itu pun memanggul bedil di Daidan I Jagamonyet yang dipimpin Daidancho MR Kasman Singodimedjo. Dan kelak banyak dari mahasiswa ini berpangkat mayor jenderal seperti Eri Soedewo yang juga sekaligus dokter ahli bedah.

Tatkala para pemimpin ragu dalam memproklamasikan kemerdekaan setelah Jepang takluk, dengan caranya sendiri justru mahasiswa dan pemuda-pemuda ini mengambil inisiatif untuk “memaksa” dwitunggal Bung Karno dan Bung Hatta mengambil sikap secepat-cepatnya. Mereka menjadi kurir Proklamasi atau penghubung dengan berkendara Onthel menghubungi setiap pucuk pimpinan yang dicekau was-was oleh suasana tak menentu. Dengan wataknya yang meledak-ledak, eksperimentatif, dan tak banyak pertimbangan, mereka “menyekap” Bung Karno dan Bung Hatta ke luar kota.
Barangkali mereka tak sadar sama sekali bahwa upaya-upaya “nekad” mereka itu telah membangkitkan gairah serupa di Asia dan Afrika dalam membebaskan diri dari belenggu penjajahan.

Buku ini—dan juga buku-buku serupa—adalah album yang merekam bagaimana cara-cara yang dilakukan elemen-elemen di dalamnya tatkala Indonesia berada di tengah jembatan peralihan yang sangat genting.

Sebagaimana diketahui, usai ketegangan jelang Proklamasi dikumandangkan, jam 12.00 siang muncul kekhawatiran yang tak kalah seriusnya, yakni bakal meledaknya friksi dan perpecahan tatkala wakil-wakil PPKI dari Indonesia Timur seperti Dr Ratulangi (Sulawesi), Tadjoedin Noer (Kalimantan), Latuharhary (Maluku), I Ketut Pudja (Bali dan Nusa Tenggara) yang berkumpul di Hotel Des Indes merasa heran dan tak terima dengan beberapa frase dalam konstitusi seperti kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dan Presiden harus Muslim. Mahasiswa-mahasiswa ini juga yang rela menjadi kurir konstitusi yang memediasi perselisihan di luar perdebatan parlemen.

Bung Hatta berhasil diyakinkan setelah utusan-utusan Indonesia Timur itu mengadakan pertemuan di asrama mahasiswa Prapatan 10. Pada akhirnya sebelum rapat dimulai 18 Agustus, Bung Hatta meminta Mr T Moh Hasan, utusan dari Sumatera, meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo supaya “7 kata” dalam Preambule itu diganti. Ki Bagus ternyata bisa diyakinkan Mr Hasan hingga kemudian UUD disahkan.

Buku ini memang berpotensi membesar-besarkan peran mahasiswa yang mangkal di asrama Prapatan 10. Tapi sejarah juga seperti perspektif mata burung; tergantung dari posisi mana mata melihat. Maka sungguh sayang buku ini dinafikan lantaran menyumbang banyak, terutama sekali memperkenalkan kontur-kontur detail di seputar jelang dan sesudah kemerdekaan, atau paling tidak suasana revolusi sedasawarsa (1940-1945) dari sebuah profesi, yakni para juru suntik yang ternyata sangat mahir, jeli, dan cerdas berpolitik, juga kuat memanggul bedil di medan pertempuran.
[+baca-]